Kapan sebenarnya “rumah” mulai menetap dalam kesadaran manusia? Apakah perasaan tentang rumah itu naluriah, bagian dari insting kita sebagai makhluk hidup? Apakah kita, pada dasarnya, adalah hewan yang suka membuat sarang seperti burung dan semut, atau justru pengembara yang tak pernah betah terlalu lama di satu tempat? Dalam sebagian besar sejarah awal manusia, rumah mungkin tak lebih dari sekadar api kecil yang menyala di tengah kegelapan malam, memberi cahaya pada beberapa wajah akrab di sekelilingnya. Sebuah lingkaran keakraban sederhana yang dibangun dari kehangatan, bukan dari dinding bata. Namun apa pun bentuknya, rumah selalu hadir sebagai cara kita menata ruang dalam pikiran. Rumah adalah rumah, dan segala sesuatu di luar itu adalah bukan-rumah. Begitulah dunia ini terbagi sejak lama.
Tentu saja, kita bisa merasa “seperti di rumah” di tempat lain. Namun ada perbedaan besar antara merasa di rumah dan benar-benar berada di rumah. Saat kita berkata nyaman di sebuah kota asing, sebenarnya yang kita maksud hanyalah: rasa asing dari kota itu sudah berkurang. Beberapa orang, sepanjang hidupnya, berkali-kali menemukan rumah baru. Ada pula yang tak pernah benar-benar menemukannya setelah pergi dari rumah asalnya. Dan ada juga yang seumur hidup hanya mengenal satu rumah, dan tak pernah meninggalkannya sama sekali.
Bagi beberapa orang, rumah bukanlah titik yang diam, melainkan garis yang berpindah mengikuti perjalanan hidup. Ada yang meninggalkan kota kecilnya untuk bekerja di ibu kota, lalu kembali lagi ketika orang tua menua dan membutuhkan perawatan. Ada yang memilih meninggalkan Jakarta setelah bertahun-tahun, sekadar karena jenuh dengan riuh yang tak pernah tidur, lalu menetap di kota yang lebih tenang. Ada pula yang berpindah-pindah karena pekerjaan: dari Purwokertoke Solo, dari Bandung ke Lampung—membawa serta keluarga, kenangan, dan setiap kali mencoba menamai tempat baru itu dengan sebutan rumah. Perpindahan itu seringkali membuat kita sadar bahwa rumah bukanlah alamat tetap, melainkan pengalaman yang terus bergeser. Ia bisa muncul, hilang, berganti rupa, namun pada akhirnya selalu kembali ke titik yang sama: tempat di mana hati merasa ingin pulang.
Anak-anak yang rindu rumah tahu betul betapa tajam perbedaan antara rumah dan bukan-rumah. Perasaan itu menyerupai sebuah batas tak kasatmata yang sulit dijelaskan. Setiap orang yang pernah jauh dari rumah, pernah merasakan: jalanan kota tampak asing, kamar tidur orang lain terasa seperti ruang yang menolak, dan tubuh seolah kehilangan pijakan. Namun ketika akhirnya pulang, yang kita temukan bukanlah kejutan besar atau sambutan meriah. Rumah tetaplah seperti sedia kala, tenang, nyaris membosankan. Dan di situlah rahasia rumah berada—ia begitu akrab, begitu menyatu dengan keseharian, hingga kita nyaris tak pernah menyadarinya. Justru tempat lainlah yang menuntut perhatian, mengingatkan kita bahwa rumah itu ada.
Dalam hidup manusia, gagasan tentang rumah hampir sepenuhnya menggantikan gagasan tentang “habitat.” Kita paham bahwa sarang burung hanyalah tempat singgah sementara, bukan habitat sejatinya. Sarang hanyalah alat untuk membesarkan anak, lalu ditinggalkan. Sedangkan bagi manusia, kemampuan hidup di mana saja membuat konsep “habitat” terasa kabur. Mengatakan “rumahku adalah habitatku” bisa benar, sekaligus tidak benar. Rumah lebih dekat pada makna psikologis—ia bukan sekadar atap yang melindungi, melainkan titik gravitasi yang menata ulang seluruh hidup kita.
Mungkin kamu pernah merasakan momen itu: baru pulang dari perjalanan jauh, lalu mendapati rumahmu sendiri tampak asing. Sejenak, ia terlihat seperti rumah biasa di antara deretan rumah lain. Untuk sepersekian detik, mata kita bisa melihatnya sebagaimana orang asing melihatnya: hanya bangunan dengan dinding, jendela, dan pintu. Namun sesaat kemudian ilusi itu pudar, dan rumah kembali ke bentuk aslinya—tempat yang akrab, tak tergantikan. Dari situ kita belajar, barangkali inilah makna paling mendasar dari rumah: ia adalah tempat yang mustahil kita lihat sepenuhnya dengan mata seorang asing.
Namun rumah tak hanya perkara tempat, ia juga menyangkut orang yang mengisinya. Ada satu kisah yang menunjukkan betapa dalamnya arti rumah ketika ada sosok yang penghuni yang hilang. Seorang ayah meninggal dunia, meninggalkan rumah yang bertahun-tahun menjadi ruang hidupnya. Anak-anaknya kembali ke rumah itu, berharap menemukan jejak dirinya. Segala sesuatu masih ada di sana: meja makan, kursi ruang tamu, buku-buku di rak, bahkan foto lama di dinding. Namun ada sesuatu yang hilang. Kepergian sang ayah bukan hanya membuat kursi terasa kosong, tetapi juga membuat setiap benda kehilangan jiwa. Gelas hanyalah gelas, meja hanyalah meja, tak lagi terikat dalam satu kesatuan yang bernama rumah. Selama ini, keberadaan ayahlah yang menyatukan mereka—dengan hati, dengan perhatian, dengan rutinitas sehari-hari yang sederhana. Saat ia tiada, rumah itu berubah wujud, dari ruang yang hangat menjadi ruang yang hening.
Di titik itu kita mengerti: rumah bukanlah bangunan, melainkan ikatan. Rumah hidup bukan karena genteng atau tembok, melainkan karena orang-orang yang menyatukannya. Dan ketika sosok itu pergi, rumah berubah wajah—dari tempat penuh kenangan menjadi ruang keheningan. Tetapi justru dari kehilangan itu kita belajar, rumah sejati selalu tersimpan dalam ingatan. Ia ada di dalam diri, tak bisa diambil, tak bisa dibongkar. Rumah adalah mereka yang kita cintai, tempat di mana setiap benda sederhana bisa menyala karena ada yang menaruh hati di sana.


