Plastik Bukan Sekadar Sampah, Tapi Fondasi Peradaban Modern

Ada yang menarik (atau menyedihkan, tergantung selera humor kita) dari pertemuan internasional terbaru tentang plastik. Para delegasi dari 184 negara datang dengan wajah serius, membawa dokumen tebal, dan tentu saja jargon penyelamatan bumi yang tidak kalah tebalnya. Namun, hasil akhirnya? Ya, seperti biasa: gagal mencapai konsensus. Dua draf yang sempat mengemuka—yang satu agak tegas, yang lain penuh kompromi—keduanya kandas. Alhasil, lahirlah pernyataan samar: mari fokus ke pengelolaan limbah, mari tingkatkan daur ulang, mari buat desain produk lebih ramah lingkungan. Intinya, mari bicara soal hilir. Tapi jangan pernah sentuh hulu: jangan sentuh produksi plastik itu sendiri.

Kalau kamu merasa déjà vu, tenang, itu bukan salah ingatan mu. Hampir semua perjanjian lingkungan global yang berurusan dengan bahan bakar fosil dan turunannya sering berakhir seperti ini: banyak kata kerja ‘akan’, sedikit kata kerja ‘sekarang’. Mari kita jujur sebentar. Negosiator bukan orang bodoh. Mereka tahu betul plastik adalah masalah. Mereka juga tahu, mengurangi produksi plastik berarti mengurangi pundi-pundi industri raksasa. Lalu siapa yang berani bunuh sapi perahnya sendiri?

Plastik modern lahir dari minyak dan gas—ya, saudara sepupu bensin dan LPG di dapur rumah kita. Negara-negara produsen minyak jelas tidak mau kehilangan pasar tambahan bernama plastics feedstock. Industri petrokimia juga sudah terlanjur mengucurkan miliaran dolar untuk membangun pabrik baru. Jangan kira mereka akan diam saja melihat ada pasal yang memotong jalur profit itu?

Belum lagi soal tenaga kerja. Industri plastik, dari pabrik resin sampai bengkel kemasan, menyerap jutaan pekerjaan di seluruh dunia. Membatasi produksi plastik terlalu cepat artinya melempar orang ke pengangguran massal, memicu demo jalanan, dan tentu saja menurunkan elektabilitas. Dan jangan lupakan fungsi plastik itu sendiri: bahan murah, ringan, multifungsi. Bayangkan harga Indomie melonjak hanya karena kemasannya pakai kertas berlapis lilin impor dari Finlandia. Singkatnya, negosiator tidak mau pulang membawa kabar buruk buat para pemodal, para pekerja, dan para pemilih. Jadi yang lahir adalah kompromi manis: mari bicara limbah, bukan produksi.

Produksi tahunan plastik global sudah ratusan juta ton, dan tren proyeksi hingga 2040 bahkan nyaris menggandakan angka itu. Artinya, kita tidak sekadar suka plastik; kita sudah tergantung seperti penikmat kopi yang tidak bisa mulai hari tanpa secangkir espresso ganda.

Plastik menyelinap ke segala lini: pengemasan makanan, konstruksi, otomotif, elektronik, kesehatan. Kalau tiba-tiba ada larangan besar-besaran, maka rantai pasok global akan terguncang. Harga mie instan naik, biaya logistik meroket, dan e-commerce kehilangan margin. Hasil akhirnya? Konsumen marah, perusahaan panik, dan kalau terlalu masif: selamat datang di resesi.

Lebih parah lagi, ketidakpastian regulasi sudah cukup bikin investor ogah. Siapa yang mau menanam modal miliaran dolar di pabrik bioplastik kalau perjanjian global saja belum jelas arahnya? Ketidakjelasan ini memicu penundaan investasi—dan dalam bahasa ekonomi, penundaan itu sama artinya dengan kehilangan momentum pertumbuhan.

Mari bermain imajinasi. Dunia sepakat menekan produksi plastik. Apa yang terjadi di jangka pendek? Biaya produksi barang naik. Coba saja bungkus makanan diganti dengan tempered glass, atau gantikan semua botol dengan aluminium. Harga produk pasti melambung. Inflasi jelas meningkat, terutama di sektor makanan dan barang konsumen. Tenaga kerja di pabrik plastik menganggur, dan tidak semua bisa langsung pindah kerja menjadi engineer biopolimer.

Dalam jangka menengah, kita akan lihat peralihan investasi. Pabrik kaca, logam, bioplastik, dan teknologi pengganti akan tumbuh. Akan ada penciptaan lapangan kerja baru, tapi transisinya tidak mulus: keterampilan lama tidak serta merta cocok di sektor baru. Negara dengan teknologi maju mungkin melesat; negara berkembang bisa tertinggal.

Jangka panjang? Jika dikelola dengan baik, kita bisa punya ekonomi sirkular: hemat biaya kesehatan, hemat biaya pembersihan limbah, dan lebih efisien dalam jangka 20–30 tahun. Tapi jika transisi salah langkah, ya resesi duluan yang mampir. Jadi sekali lagi: perjanjian plastik yang tumpul itu bukan kebetulan. Itu refleksi rasa takut pada guncangan ekonomi. Sekarang kita bicara the golden word: daur ulang. Setiap kali ada rapat internasional yang buntu, biasanya kalimat pamungkasnya begini: “Mari tingkatkan daur ulang.” Kedengarannya elegan, tapi sayangnya jauh dari realitas.

Fakta dingin: hanya sekitar 9–10% plastik yang benar-benar didaur ulang secara global. Itu pun banyak yang kualitasnya turun (downcycling), misalnya jadi kursi plastik murahan, bukan kembali ke botol atau kemasan dengan nilai tinggi. Artinya, 90% sisanya? Entah masuk TPA, dibakar, atau hanyut ke sungai lalu ke laut.

Dan mari jujur, konsumsi plastik baru melesat jauh lebih cepat daripada kapasitas daur ulang. Dengan kata lain, kita berlari di treadmill yang kecepatannya terus ditingkatkan, sementara mesin daur ulang masih ngos-ngosan di kecepatan rendah. Jadi kalau ada yang bilang, “Tenang, daur ulang akan menyelamatkan kita” itu lebih mirip janji MLM daripada kebijakan berbasis data.

Singkatnya, perjanjian plastik global terbaru kembali berakhir dengan janji manis tanpa gigi. Tidak ada keberanian menyentuh produksi, karena ekonomi dunia masih terlampau manja dengan plastik: dari minyak dan gas yang menopangnya, jutaan pekerja yang bergantung padanya, hingga konsumen yang sudah dimanjakan oleh kenyamanan murahnya. Negosiator lebih takut pada inflasi harga mie instan ketimbang paus yang mati menelan kantong kresek. Dunia pun terus terjebak dalam paradoks: kita tahu plastik merusak, tapi sekaligus tak bisa hidup tanpa plastik. Daur ulang sering dijadikan mantra penyelamat, padahal kecepatannya jauh tertinggal dari laju konsumsi—ibarat menggayuh becak mengejar kereta cepat.

Orang-orang terkaya di dunia sudah paham betul akan jalan buntu ini. Mereka lebih memilih melarikan diri: sibuk menjelajah luar angkasa, merancang koloni di Mars, atau bahkan bermimpi menambang asteroid. Sementara kita yang tertinggal di bumi, tetap harus bergulat dengan tumpukan sampah plastik yang tak kunjung habis. Jadi jika ada yang masih percaya daur ulang adalah solusi tunggal, mungkin sebaiknya juga menyiapkan tiket roket, karena bumi ini tampaknya sudah dijadikan cadangan planet ketiga—setelah Mars dan sabuk asteroid—bukan lagi rumah yang benar-benar dirawat.

Giraloka

 

Pos Terbaru

GIRALOKA berupaya menjadi media yang terbuka bagi banyak suara, mudah dicerna tanpa kehilangan ketajaman analisis, serta relevan di tengah gempuran informasi digital yang serba cepat. Kami ingin menghadirkan bacaan yang ringan tapi bermakna, alternatif tetapi tetap dapat dipercaya, sehingga pembaca tidak hanya sekadar mengonsumsi informasi, melainkan juga diajak untuk memahami, meresapi, dan—pada akhirnya—ikut menyumbangkan suara.