Sudah lebih dari dua dekade Indonesia menjalani era otonomi daerah. Reformasi 1998 melahirkan desentralisasi dengan semangat mulia: memperpendek jarak antara negara dan rakyat, mempercepat pelayanan publik, serta memberi ruang bagi pemerintah daerah mengelola urusan rumah tangganya sendiri. Bagi sebuah negara yang sebelumnya sangat sentralistis, gagasan ini terasa revolusioner.
Namun, seperti banyak kebijakan besar lainnya, perjalanan otonomi daerah tidak selalu seindah naskah undang-undangnya. Dalam praktik sehari-hari, ia kerap menjelma pisau bermata dua. Di satu sisi, ada capaian positif: beberapa daerah berhasil menunjukkan inovasi, kompetisi antardaerah memunculkan gagasan baru, dan sebagian masyarakat merasakan manfaat ketika pelayanan publik menjadi lebih dekat. Tetapi di sisi lain, wajah buram otonomi daerah sulit disembunyikan: lahirnya elit-elit lokal yang berperan seperti “raja kecil,” merebaknya pungutan liar di berbagai sektor, hingga tata kelola yang lebih condong pada rente daripada kesejahteraan rakyat.
Ketika konsep ini diluncurkan, masyarakat tentu berharap otonomi daerah akan menghadirkan tata kelola yang lebih responsif. Bupati, wali kota, hingga camat diharapkan mampu memahami kebutuhan warganya karena berada lebih dekat dengan mereka. Tetapi dua puluh tahun kemudian, harapan itu belum terjawab secara merata.
Bahkan dalam banyak kasus, desentralisasi justru memperbanyak titik kerentanan. Korupsi yang dulunya terpusat kini ikut terfragmentasi ke daerah. Muncul variasi regulasi dan praktik yang tidak selalu berpihak pada masyarakat. Mekanisme perizinan yang seharusnya sederhana, misalnya, justru seringkali menjadi ladang pungutan, baik resmi maupun tidak resmi.
—
Praktik di Lapangan: Antara Pelayanan dan Pungutan
Pengalaman sehari-hari masyarakat di daerah menunjukkan wajah konkret dari masalah ini. Urusan administrasi kependudukan sering kali tidak berjalan mulus tanpa “biaya tambahan.” Perizinan usaha bisa selesai cepat, namun biasanya ada syarat informal yang harus dipenuhi. Bahkan dalam sektor pendidikan, orang tua masih sering dihadapkan pada berbagai iuran dengan alasan tambahan kegiatan atau pembangunan sekolah.
Hal yang lebih mengkhawatirkan adalah soal tata kelola sumber daya. Kita bisa melihat bagaimana sejumlah daerah mengeluarkan izin tambang atau izin alih fungsi lahan dengan mudah, meskipun dampaknya merusak ekosistem dan mengorbankan masyarakat lokal. Regulasi menjadi longgar ketika berhadapan dengan pemodal besar, tetapi ketat ketika rakyat kecil mencoba mencari penghidupan.
—
Retribusi pasar juga menjadi contoh yang jelas. Hampir setiap pedagang pasar tradisional membayar pungutan resmi setiap hari. Tetapi kondisi pasar sering tetap memprihatinkan: atap bocor, lantai becek, fasilitas sanitasi buruk. Pertanyaannya sederhana: ke mana larinya uang retribusi itu?
Jika benar masuk ke kas daerah, mengapa perbaikan tidak pernah terlihat? Jika ternyata bocor dalam perjalanan, maka praktik ini hanya menambah beban pedagang kecil. Kasus ini menunjukkan bahwa otonomi daerah tidak selalu mendekatkan pelayanan pada rakyat, melainkan mendekatkan beban pada mereka.
Pembangunan infrastruktur di banyak daerah juga mencerminkan masalah yang sama. Jalan yang baru diperbaiki menjelang pilkada sering kali hanya bertahan beberapa bulan sebelum kembali rusak. Pola semacam ini menunjukkan bahwa logika pembangunan kerap diarahkan untuk kepentingan elektoral, bukan kepentingan publik jangka panjang.
Dengan kewenangan yang luas, pemerintah daerah semestinya mampu memastikan kualitas proyek lebih baik. Tetapi dalam praktiknya, sering kali yang lebih diperhitungkan adalah siapa kontraktor yang mendapat proyek, bukan seberapa layak hasil akhirnya.
—
Pendidikan dan Kesehatan: Janji yang Masih Tertunda
Desentralisasi pendidikan dan kesehatan sejatinya dimaksudkan agar daerah lebih adaptif terhadap kebutuhan masyarakatnya. Tetapi realitasnya, akses pendidikan berkualitas dan layanan kesehatan yang layak masih menjadi persoalan klasik.
Dana bantuan operasional sekolah dan subsidi kesehatan memang dikucurkan pemerintah pusat, tetapi di tingkat daerah, implementasinya tidak selalu mulus. Ada birokrasi yang lamban, ada pula kepentingan politik lokal yang membuat program tidak berjalan sebagaimana mestinya. Akibatnya, masyarakat kembali menanggung biaya tambahan, meski semestinya sudah ditanggung negara.
—
Apakah semua ini berarti otonomi daerah gagal? Tidak sesederhana itu. Sebagian daerah terbukti mampu menunjukkan kinerja yang baik. Ada pemerintah daerah yang berhasil menekan angka kemiskinan, meningkatkan layanan kesehatan, bahkan memajukan ekonomi lokal melalui inovasi kebijakan.
Namun, harus diakui, capaian positif ini masih menjadi pengecualian, bukan aturan umum. Otonomi daerah akhirnya menjadi cermin demokrasi lokal: ketika pemimpin daerah memiliki integritas dan visi yang jelas, masyarakat merasakan manfaat. Tetapi ketika kepemimpinan hanya dijalankan untuk kepentingan politik dinasti dan rente ekonomi, rakyatlah yang menanggung kerugiannya.
Otonomi daerah memang pisau bermata dua. Ia bisa menjadi alat pemotong ketimpangan sekaligus alat pengiris keadilan. Selama ini, tajamnya lebih sering dirasakan rakyat kecil—dalam bentuk pungutan liar, pelayanan setengah hati, atau pembangunan asal jadi.
Pisau ini pada akhirnya memperlihatkan satu hal: desentralisasi tidak otomatis menghasilkan demokrasi yang lebih sehat. Tanpa tata kelola yang kuat, otonomi hanya akan memperbanyak ruang bagi praktik rente dan memperbanyak wajah-wajah “raja kecil” di berbagai daerah.
Maka, ketika kita berbicara tentang masa depan otonomi daerah, pertanyaannya bukan sekadar bagaimana membagi kewenangan antara pusat dan daerah. Pertanyaan yang lebih mendesak adalah: apakah kewenangan itu benar-benar digunakan untuk rakyat, atau justru untuk mengukuhkan kekuasaan lokal yang semakin jauh dari semangat reformasi?
Penulis: Giraloka


