Klakson di Lampu Hijau: Simbol Ketidaksabaran Kolektif

Persimpangan jalan dengan lampu lalu lintas atau yang masyarakat jawa sebut “Bangjo” ini sesungguhnya adalah sebuah panggung pertunjukan kecil yang hampir setiap hari kita terlibat didalamnya. Semua aktor sudah tahu perannya masing-masing: mobil dan motor berbaris ketika lampu merah menyala, pengemudi duduk diam, beberapa menunduk menatap layar ponsel, yang lain mungkin melamun tentang meteran listrik dirumah yang tokennya sudah menunjukan diangka 5kwh dengan peringatan khas bunyi Tiit…tiit…tiiit. Semua terasa tertib, seolah-olah dipersimpangan jalan ini masih memiliki denyut keteraturan.

Namun, drama itu berubah drastis ketika lampu merah berganti hijau. Belum sampai satu detik, bahkan sebelum mata sempat benar-benar menangkap warna hijau menyala penuh, bunyi klakson langsung menggema. Teeeet! Toot! Tiiiit!—sebuah orkestra jalanan yang tidak pernah latihan, tetapi selalu kompak.

Mari kita coba lihat fenomena ini dengan kacamata semiotika. Ferdinand de Saussure membagi tanda menjadi penanda (signifier) dan petanda (signified). Klakson, pada mulanya, adalah penanda sederhana: tanda peringatan bahaya. Namun, dalam kebudayaan lalu lintas kita, klakson mengalami “perluasan makna.” Ia berubah menjadi simbol eksistensi diri, simbol kuasa, bahkan simbol frustrasi sosial. Dengan membunyikan klakson di detik pertama lampu hijau, seseorang seakan berkata: “Aku lebih sigap, lebih penting, dan waktu orang lain tidak ada nilainya dibanding punyaku.”

Charles Sanders Peirce, dengan kategorinya ikon–indeks–simbol, mungkin akan tertawa getir jika berkendara di Jakarta atau Surabaya. Klakson bukanlah ikon, karena bunyinya tidak merepresentasikan sesuatu yang nyata. Sebagai indeks pun lemah, karena tidak selalu ada hubungan sebab-akibat yang jelas. Ia adalah simbol murni, yang lahir dari kesepakatan sosial kita yang agak absurd: bahwa keterlambatan sepersekian detik adalah dosa besar yang harus ditebus dengan klakson.

Namun di balik analisis akademis itu, ada hal yang jauh lebih sederhana dan manusiawi: kesabaran. Membunyikan klakson saat lampu baru berganti hijau sejatinya bukan hanya tidak sopan, tetapi juga tidak bijak. Mengapa? Karena setiap orang butuh jeda untuk merespons. Butuh sepersekian detik untuk memindahkan kaki dari pedal rem ke pedal gas. Butuh sepersekian detik bagi motor untuk menyeimbangkan tubuhnya. Menekan klakson dalam jeda itu bukanlah bantuan, melainkan tekanan.

Lebih jauh lagi, ketidaksabaran kecil ini sesungguhnya cermin dari budaya besar kita. Kita terbiasa menunggu dengan sabar untuk hal-hal yang justru merugikan: antrean panjang di birokrasi, janji pembangunan yang tak kunjung selesai, hingga keputusan politik yang molor bertahun-tahun. Namun anehnya, kesabaran itu lenyap begitu kita berhadapan dengan hal-hal sepele di jalan raya. Kita sanggup menoleransi keterlambatan sistemik, tetapi tidak bisa menoleransi jeda dua detik dari pengemudi di depan kita.

Roland Barthes, dalam Mythologies, mengingatkan bahwa mitos bukanlah kebohongan, melainkan cara kebudayaan memberi makna pada hal-hal sehari-hari. Maka, klakson di lampu hijau pun bisa disebut sebagai mitos baru: mitos bahwa dengan menekan tombol suara, kita bisa menaklukkan waktu. Sebuah ilusi kekuasaan yang hanya berlaku di jalan raya, tetapi memberi kita rasa lega—seolah-olah hidup ini berada dalam kendali kita.

Namun apakah benar begitu? Sesungguhnya, membunyikan klakson berlebihan justru memperlihatkan kerapuhan kita. Kita takut tertinggal, kita gelisah jika orang lain menghambat kita, dan kita ingin melampiaskan frustrasi atas hal-hal lain di luar jalan raya. Klakson akhirnya menjadi katarsis, bukan komunikasi. Dan katarsis semacam ini hanya menghasilkan kebisingan, bukan solusi.

Di sinilah pentingnya kesabaran. Menahan diri untuk tidak membunyikan klakson saat lampu baru berganti hijau bukan berarti kita kalah atau tertinggal. Sebaliknya, itu menunjukkan kedewasaan. Kesabaran adalah bentuk penghormatan terhadap ruang orang lain: bahwa setiap pengemudi punya ritme, setiap kendaraan butuh waktu, dan setiap perjalanan tidak hanya soal kecepatan, tetapi juga soal kehati-hatian.

Bayangkan jika semua orang memilih sabar. Tidak ada orkestra klakson yang memekakkan telinga. Tidak ada rasa tertekan bagi pengemudi di barisan depan. Jalan raya menjadi ruang publik yang lebih manusiawi, di mana kita saling menghargai, bukan saling menekan. Bukankah itulah esensi dari hidup bermasyarakat?

Akhirnya, fenomena klakson di lampu hijau adalah cermin kecil dari siapa kita sebagai bangsa. Jika kita bisa belajar sabar di jalan, menahan klakson hanya beberapa detik, mungkin kita juga bisa belajar sabar dalam urusan lain yang lebih besar. Karena pada hakikatnya, peradaban tidak diukur dari seberapa cepat kita menekan pedal gas, melainkan dari seberapa jauh kita mampu menahan diri.

Dan mungkin, suatu hari nanti, kita akan benar-benar dewasa sebagai masyarakat ketika klakson kembali kepada makna asalnya: bukan simbol ketidaksabaran, bukan alat pelampiasan frustrasi, melainkan sekadar tanda darurat. Sampai saat itu tiba, mari kita coba satu hal sederhana—saat lampu hijau menyala, jangan buru-buru menekan klakson. Tahanlah sejenak. Karena kadang, kesabaran sedetik saja bisa membuat dunia terasa jauh lebih waras.

Giraloka

Pos Terbaru

GIRALOKA berupaya menjadi media yang terbuka bagi banyak suara, mudah dicerna tanpa kehilangan ketajaman analisis, serta relevan di tengah gempuran informasi digital yang serba cepat. Kami ingin menghadirkan bacaan yang ringan tapi bermakna, alternatif tetapi tetap dapat dipercaya, sehingga pembaca tidak hanya sekadar mengonsumsi informasi, melainkan juga diajak untuk memahami, meresapi, dan—pada akhirnya—ikut menyumbangkan suara.