Kisah Ki Mugo: Seni yang Tak Lekang oleh Waktu

Di tengah arus digitalisasi seni, masih ada sosok seniman yang memilih untuk bertahan dengan cara lama, melukis tradisional. Ia memiliki nama lengkap Mugo Sumedi, lebih sering dikenal dengan panggilan Ki Mugo. Salah satu sosok pelukis realis di Banyumas. Lahir di Gombong, memiliki darah keturunan seniman dari sang ayah. Ia rela meninggalkan profesinya sebagai pedagang buku untuk sepenuhnya menekuni dunia seni, terutama seni lukis pada tahun 1990. Di usianya yang sudah di atas 60 tahun ini, ia masih aktif berkarya di kios kecil di area Lapangan Glempang, Purwokerto, dan memiliki sanggar lukis di rumahnya di Sokaraja. Perjalanannya menjadi seorang seniman tentu tidak mudah, banyak rintangan yang dihadapi, namun ketekunannya membuktikan bahwa kesuksesan tidak selalu diukur dengan materi, melainkan dari ketulusan dalam berkarya.

Nama Mugo Sumedi memiliki makna spiritual yang dalam. Ia diberi nama demikian karena sang ayah, seorang seniman ketoprak dan wayang wong, yang sedang bertapa atau bersemedi ketika dirinya lahir. “Makanya saya dinamai Mugo Sumedi,” tuturnya sambil tersenyum mengingat kenangan masa kecilnya. Kini, masyarakat luas, terutama komunitas seni di Banyumas lebih mengenalnya dengan panggilan Ki Mugo, sebutan pengakuan kehormatan yang melekat pada para seniman, salah satunya Ki Mugo dalam pedalangan dan anggota PEPADI (Persatuan Pedalangan Indonesia).

Sebelum menekuni seni lukisnya sampai saat ini, Ki Mugo sempat menjalani hidup sebagai pedagang buku bekas di Jakarta pada era 1978 hingga 1990. Ia menjual buku pelajaran, majalah, serta karya sastra dan sejarah yang banyak diminati masyarakat saat itu. Namun, kecintaannya pada seni yang telah tumbuh sejak kecil, saat ia sering memenangkan lomba lukis sejak duduk di bangku TK (Taman Kanak-kanak) mendorongnya lebih kuat dalam mengambil keputusan besar, yaitu beralih menjadi seniman secara totalitas, sepenuhnya. “Keputusan itu tidak mudah,” ujarnya. “Saya butuh dua tahun untuk berpikir, apakah dari melukis saya bisa menghidupi keluarga.” Beruntung, istrinya memberi dukungan penuh dengan satu syarat, asalkan anak-anak bisa tetap sekolah. Dari situ, ia memantapkan diri untuk totalitas di dunia seni.

Ki Mugo belajar segala hal yang berkaitan dengan seni, terutama seni lukis, seperti menulis indah untuk ditulis di sertifikat dan piagam hingga melukis di kaca, ia paham betul dengan teknik-tekniknya. Baginya, seni adalah ruang hidup yang tidak boleh dijalani setengah hati. “Kalau sudah terjun ke dunia itu, harus total. Jangan pindah-pindah. Kalau pindah, kita tidak punya karakter,” ucapnya tegas.

Menjadi pelukis jalanan bukan tanpa perjuangan. Dua puluh tahun hidup di Jakarta, Ki Mugo harus berhadapan dengan panas, hujan, hingga kejar-kejaran dengan petugas ketertiban. “Kalau cuaca baik, bisa buka lapak di depan toko orang. Tapi kalau hujan, basah semua. Dulu suka kucing-kucingan sama trantib, sekarang Satpol PP,” kenangnya. Namun dari jalanan itulah ia belajar arti kesabaran dan keteguhan. “Sukses bukan berarti saya harus kaya. Apa yang saya cita-citakan tercapai, itu menurut saya sudah merupakan kesuksesan yang luar biasa,” katanya dengan nada rendah hati.

Dalam dunia seni, Ki Mugo dikenal sebagai pelukis realis. Alasannya sederhana, aliran realis menuntut ketepatan bentuk dan kecepatan, dua hal penting untuk pelukis jalanan. “Kalau melukis wajah orang, harus mirip 85 persen. Nggak semua pelukis bisa,” jelasnya. Media yang digunakan pun sederhana, yang murah seperti karton dan pastel kering. Bagi pelanggan yang ingin hasil lebih eksklusif, ia bisa memakai cat minyak di kanvas. Ia tidak mematok harga tinggi. Baginya, kepuasan konsumen jauh lebih berharga. “Yang penting mereka senang dengan hasil karya saya, nggak perlu bonus,” ujarnya.

Menariknya, Ki Mugo sempat menjadi dalang wayang golek kontemporer di Banyumas. Ia tergerak karena ingin memberikan warna baru di tengah dominasi wayang kulit. “Saya ingin wayang bisa jadi hiburan sekaligus sarana menyebarkan nilai-nilai agama,” katanya. Dari panggung ke kanvas, ia tetap membawa semangat yang sama, menyampaikan pesan kehidupan dengan keindahan.

Kini, di usianya yang matang, Ki Mugo tetap aktif berkarya di Purwokerto. Ia kerap membuat karikatur untuk warga sekitar dan turis yang datang. Pandangannya terhadap teknologi pun bijak. “Seni digital itu bagus, tapi sifatnya sementara. Orang akan kembali pada karya tangan, karena punya jiwanya sendiri,” ujarnya yakin. Bagi Ki Mugo, teknologi bukan ancaman bagi seni tradisional, melainkan ruang baru untuk berekspresi. Ia justru melihat generasi muda mulai memahami nilai seni dengan lebih terbuka. “Dulu orang lihat karikatur, protes, karena kepala besar badannya kecil. Sekarang mereka paham, itu seni,” ucapnya.

Ia juga kerap mengikuti berbagai pameran seni dan diundang menjadi pengajar lukis di beberapa kota, sebagai bentuk silaturahmi dan berbagi pengalaman dengan rekan-rekan komunitas seninya. Meski begitu, ia masih menyimpan keprihatinan terhadap persaingan di dunia seni. “Sesama seniman jangan saling menjatuhkan, tapi tunjukkan karya terbaik. Dari situ orang tahu siapa yang benar-benar punya karakter,” pesannya.

Dari seorang pedagang buku menjadi pelukis jalanan, dari panggung wayang hingga kanvas, perjalanan hidup Ki Mugo Sumedi adalah bukti bahwa seni bukan sekadar profesi, melainkan jalan hidup yang dijalani dengan ketulusan. Dalam kesederhanaannya, ia mengajarkan makna sukses yang sesungguhnya, bukan diukur dari harta, melainkan dari kemampuan untuk tetap setia pada panggilan hati. “Lambat atau cepat,” tutupnya, “pasti akan ada hasil bagi siapa pun yang total dalam berkarya.”

Frigia Ananda Taju

Pos Terbaru

GIRALOKA berupaya menjadi media yang terbuka bagi banyak suara, mudah dicerna tanpa kehilangan ketajaman analisis, serta relevan di tengah gempuran informasi digital yang serba cepat. Kami ingin menghadirkan bacaan yang ringan tapi bermakna, alternatif tetapi tetap dapat dipercaya, sehingga pembaca tidak hanya sekadar mengonsumsi informasi, melainkan juga diajak untuk memahami, meresapi, dan—pada akhirnya—ikut menyumbangkan suara.