Sekilas, kita mungkin merasa bahwa zaman ini justru penuh dengan hal baru. Teknologi berkembang dengan kecepatan yang menakjubkan. Kita memiliki media sosial yang merubah cara berkomunikasi, kecerdasan buatan yang menulis dan mencipta gambar, hingga perangkat pintar yang melekat di tubuh kita. Bukankah semua ini bukti bahwa kita sedang bergerak maju?
Namun jika diperhatikan lebih teliti, banyak dari inovasi itu justru digunakan untuk mereproduksi masa lalu. Kecerdasan buatan, misalnya, tidak jarang dipakai untuk menciptakan lagu-lagu baru “seolah” dinyanyikan oleh musisi lama. Teknologi deepfake mampu menghadirkan kembali wajah selebriti yang sudah meninggal, menempatkan mereka di iklan atau film baru. Filter media sosial pun ramai menghadirkan efek retro: kamera polaroid, nuansa VHS, atau warna pudar ala 90-an.
Di sini kita melihat paradoks alat tercanggih yang kita miliki digunakan bukan untuk menciptakan masa depan yang belum pernah dibayangkan, melainkan untuk membangkitkan kembali masa lalu. Teknologi, alih-alih menjadi gerbang menuju hal-hal segar, malah menjadi mesin nostalgia yang makin canggih.
Nostalgia vs. Imajinasi
Salah satu fungsi utama budaya populer adalah memperluas cakrawala imajinasi kolektif. Musik, film, mode, bahkan permainan, pada dasarnya adalah cara kita membayangkan kemungkinan baru—tentang identitas, perasaan, hingga cara hidup.
Tapi ketika budaya populer didominasi oleh nostalgia, imajinasi itu tereduksi. Kita tidak lagi diajak membayangkan “apa yang belum ada,” melainkan hanya mengulang “apa yang sudah pernah ada.” Alih-alih menciptakan masa depan, kita sibuk merayakan masa lalu.
Bila tren ini berlanjut, ada risiko besar bahwa kita akan kehilangan kemampuan untuk memikirkan kemungkinan baru. Ibarat seorang penulis yang hanya bisa menyalin kalimat lama, kita akan terjebak pada bayangan diri sendiri. Masa depan tidak benar-benar datang, karena ruang untuk membayangkannya sudah dipenuhi replika masa lalu.
Menghormati Sejarah vs. Mendewakan Masa Lalu
Tentu, ada perbedaan penting antara menghormati sejarah dan mendewakan masa lalu. Menghormati sejarah berarti belajar darinya: memahami perjuangan, kesalahan, dan pencapaian masa lalu untuk melangkah lebih bijak ke depan. Tetapi mendewakan masa lalu berarti menjadikannya pusat gravitasi, seakan tidak ada yang bisa lebih baik dari apa yang pernah ada.
Budaya populer kita sering kali jatuh pada yang kedua. Ketika film lama dianggap “terlalu suci” untuk ditandingi, atau ketika musik lama dipuja sebagai puncak kreativitas, tanpa ruang bagi suara baru, maka kita sedang membangun altar bagi masa lalu. Akibatnya, setiap upaya baru dibandingkan dengan standar lama, dan hampir selalu dianggap gagal. Bagaimana mungkin sebuah generasi mampu membangun identitas jika setiap karyanya ditakar dengan ukuran yang bukan milik zamannya?
Fenomena ini sangat terasa pada generasi muda. Anak-anak yang tumbuh di era media sosial sering kali dicekoki konten nostalgia bahkan sebelum mereka sempat memiliki kenangan pribadi. Mereka menonton ulang kartun atau sinetron dari dua puluh tahun lalu, mendengarkan musik band yang bubar sebelum mereka lahir, dan mengenakan mode yang populer di masa orang tua mereka.
Sekilas, ini terlihat sebagai jembatan lintas generasi. Tetapi di sisi lain, hal ini membuat mereka kehilangan ruang untuk merumuskan masa depan yang khas. Jika identitas budaya yang mereka konsumsi hanyalah daur ulang, maka pertanyaan yang muncul: di mana tempat untuk ide-ide baru? Generasi ini berisiko menjadi generasi yang melewatkan masa depannya sendiri, karena terlalu sibuk menghidupi masa lalu yang bukan miliknya.
Budaya sebagai Cermin Imajinasi Zaman
Budaya populer pada dasarnya adalah cermin yang memantulkan imajinasi kolektif sebuah masyarakat. Apa yang kita dengar, tonton, dan kenakan adalah cara kita bersama-sama menjawab pertanyaan: “Siapa kita sekarang, dan ke mana kita ingin pergi?”
Jika cermin itu terus diarahkan ke belakang, maka yang terlihat hanyalah bayangan lama. Kita bisa terhibur oleh bayangan itu, tetapi kita tidak sedang benar-benar melihat diri kita hari ini, apalagi membayangkan diri kita esok.
Seperti sungai yang kehilangan arusnya, budaya populer yang terlalu sibuk mengulang akhirnya menjadi rawa nostalgia: indah, memantulkan langit, tapi tak lagi mengalir.
Mengapa ini berbahaya? Karena imajinasi adalah bahan bakar bagi masa depan. Revolusi budaya, inovasi teknologi, bahkan perubahan sosial yang besar selalu lahir dari keberanian membayangkan sesuatu yang belum ada. Jika imajinasi itu tumpul, maka masa depan akan berhenti.
Masa lalu, jika diperlakukan dengan bijak, bisa menjadi jembatan. Ia memberi pijakan untuk melangkah. Tetapi ketika terlalu didewakan, ia berubah menjadi jangkar. Kita merasa aman karena tidak bergerak, tetapi sebenarnya kita sedang perlahan tenggelam.
Hidup dalam Bayangan
Di titik ini, kita sampai pada refleksi yang lebih dalam. Mungkin ancaman sejati dari budaya populer yang terjebak nostalgia bukanlah hilangnya hiburan baru, melainkan hilangnya kemampuan kita sebagai masyarakat untuk hidup penuh di masa kini.
Kita hidup dalam bayangan masa lalu, dan bayangan itu, meski indah, bukanlah cahaya. Ia membuat kita lupa bahwa yang nyata adalah langkah kita hari ini dan kemungkinan kita esok. Jika kita terus menatap ke belakang, kita tidak akan pernah melihat jalan di depan.
Seorang filsuf pernah berkata bahwa manusia adalah makhluk yang hidup dari imajinasi. Kita tidak hanya makan, tidur, atau bekerja, tetapi juga bermimpi—tentang masa depan yang lebih baik, tentang dunia yang lebih adil, tentang kemungkinan yang belum terwujud. Tanpa imajinasi, kita kehilangan sebagian besar dari kemanusiaan kita.
Penutup
Budaya populer yang kita nikmati hari ini sedang menghadapi ujian besar. Di satu sisi, nostalgia memberi kehangatan dan identitas. Tetapi di sisi lain, jika dibiarkan mendominasi, ia berisiko melumpuhkan kemampuan kita untuk membayangkan masa depan.
Mungkin sudah saatnya kita berani melepaskan tangan dari pegangan masa lalu. Bukan berarti melupakan sejarah atau meninggalkan kenangan, tetapi menempatkannya pada posisi yang tepat: sebagai pijakan, bukan tujuan.
Giraloka


