Purwokerto— Setelah sekitar 2 bulan persiapan, Teater Teksas FIB Unsoed akhirnya menuntaskan ibadah pentas produksi ke-27 dengan tajuk “Denting 25:61”. Pertunjukan ini digelar pada Jumat, 26 September 2025 di Gedung Bambang Lelono, Fakultas Ilmu Budaya Unsoed.
Antusiasme penonton sudah terasa sejak jauh hari. 2 gelombang Presale tiket resmi sold out hanya dalam beberapa hari. Sementara, pembelian tiket On The Spot (OTS) dibuka dengan harga Rp 18.000. Di samping itu, pertunjukan berlangsung dengan meriah. Selama 45 menit, penonton disuguhkan penampilan yang tak hanya dibawa oleh aktor, namun terasa dari sajian musik, tata cahaya, dan set yang sederhana, namun penuh makna.
Mengusung tema, impian, luka, perjalanan, dan waktu, Denting 25:61sukses menjadi refleksi atas kehidupan penuh dinamika di masa kini. Sutradara pentas, Edoh, mengatakan bahwa Denting 25:61 berangkat dari keresahan anggota Teksas di masa ini. “Hal–hal kayak mau makan di mana juga kan anak kuliahan sekarang bingung banget nentuinnya, apalagi soal besok mau jadi apa”, kata Edoh. Eksistensi diri, menjadi motivasi Edoh dan rekan-rekan untuk menyuarakan suara hatinya kepada para penonton.
Denting 25:61 menceritakan perjalanan Imbas dan Masa, dua orang yang terjebak dalam stasiun dengan kereta yang tidak pernah berangkat. Imbas diceritakan memiliki kebingungan tentang apa yang harus ia lakukan di masa depan. Sebagai anak bungsu, keputusan hidup Imbas sepenuhnya dipilih oleh kedua orang tuanya.
Di sisi lain, Masa —yang mana adalah seorang anak pertama—- dibentuk untuk menjadi seorang teladan. Di mana saat besar ia mempertanyakan, sebenarnya untuk siapa hidupnya sendiri dipilih. Dalam kebimbangan, kedua peran ini bertemu dengan Iris, seseorang yang hampir tahu segala yang terjadi di stasiun tersebut. Iris telah menjelma menjadi sosok yang betah dengan suasana stasiun. Perasaan itu timbul karena stasiun tersebut adalah tempat yang tenang dimana waktu telah berhenti berdetak. Itulah sebabnya ditunjukkan 25:61, dimana waktu telah melebihi batas aslinya.

Pertunjukkan dibuka dengan dialog dua orang pekerja peron, seorang pria Penjaga Peron, dan perempuan Penjaga Loket. Mereka mengawali cerita dengan mengenalkan latar dan waktu. Setelah itu, terdengar pengumuman yang menandakan kedatangan kereta, namun waktu dan destinasi akhirnya tak terdengar jelas. Pengumuman ini menjadi penanda segmentasi cerita.
Saat pekerja telah bersiap di posisinya, Penjaga Peron di depan peron, sedangkan Penjaga Loket di dalam loket. Imbas, masuk ke dalam bertanya-tanya karena tiket tak tercetak apapun di lembarnya, kosong. Ia bertemu Iris, yang duduk dan mencari tahu apa yang terjadi di tempat itu.
Iris, yang diceritakan adalah seorang yang telah nyaman dan tak ingin kembali ke realita aslinya terus menerus memperingatkan Imbas bahwa “Tak ada kereta yang berangkat”. Sedangkan, Iris berusaha bersikeras bahwa dirinya tidak terima harus berada dalam posisi “Tak pernah beranjak” tapi juga dia tidak mengerti kemana harus beranjak.
Selanjutnya, pengumuman terdengar lagi, kali ini dengan waktu yang sudah jelas kemana, katanya pukul 25 lebih 61 menit. Masa masuk, dirinya digambarkan lebih keras daripada Imbas, persis seperti gambaran independent woman yang sering dikatakan orang-orang. Penggambaran ini menjadikan karakter Imbas dan Masa memiliki ketimpangan sifat kedewasaan yang nyata. Sama seperti Imbas, Masa juga meluapkan kekesalannya karena terjebak pada labirin waktu. Masa berdalih bahwa dirinya tidak tahu harus ke tujuan akhir mana yang sesuai dengan harapannya.
Selanjutnya, Imbas dan Masa mencoba bertanya “Aku harus apa” untuk dapat keluar dari situasi, tempat, dan waktu yang mengikat mereka. Mereka bertanya kepada Penjaga Peron, lalu ke Penjaga Loket, kata Penjaga Loket, tiket kosong itu harus diisi sendiri tujuan akhirnya. Saat sudah dengan kesal, Imbas dan Masa lalu menulis dengan cepat tujuan mereka.
Namun saat masuk ke peron, Keduanya kembali ruang tunggu stasiun, melihat Iris yang berdiam saja dari tadi. Iris berkata bahwa mereka tidak jujur atas luka-luka mereka. Tujuan akhir yang ditulis bukan berasal dari hati, melainkan harapan-harapan orang lain yang dikenakan pada Imbas dan Masa.
Ketiganya lalu berdiam diri, melihat ke sekeliling, sambil berusaha mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan “Kemana harus beranjak”. Pada titik ini lah sajian musik sangat membekas di hati penonton. Lagu yang disenandungkan adalah karya asli dari Teater Teksas untuk Denting 25:61. Lagu ini bernuansa sendu dengan lirik yang dipenuhi pertanyaan-pertanyaan tentang kehidupan.

Setelah Imbas dan Masa merasa yakin atas pilihannya, baru lah mereka memberikan tujuan pasti. Setelah memberikan tiket ke loket, lalu masuk ke peron, mereka pun tidak terlihat lagi. Sementara Imbas masih terdiam duduk di ruang tunggu. Pertunjukan diakhiri dengan figuran yang masuk, menggambarkan bahwa stasiun merupakan fase yang akan dialami oleh semua orang.
Seorang penonton, Andra Piton mengungkapkan bahwa lighting atau tata cahaya pementasan ini sangat rapi dan baik sekali dalam menerjemahkan naskah. Denting 25:61 juga dinilai sarat akan seni sastra dan puitis yang melekat pada Teater Teksas. Pementasan diakhiri dengan apresiasi dari penonton dan sesi foto bersama. Pementasan ini sekali lagi menjadi pembuktian terbangunnya iklim apresiatif antar teater di Purwokerto dan bahwa setiap komunitas memiliki ciri khasnya masing-masing.
Pentas produksi ini juga menjadi bukti konsistensi Teater Teksas sebagai salah satu komunitas seni pertunjukkan paling produktif di Purwokerto. Tak hanya Dentig 25:61, Teksas dikabarkan sedang menggarap studi pentas bersama calon anggotanya dan akan manggung di dua bulan berikutnya.
Dengan nuansa puitis, simbolik, dan menggugah, Denting 25:61 diharapkan dapat menggetarkan hati penonton, sekaligus menegaskan eksistensi teater kampus sebagai ruang kreatif yang hidup. Bahwa berkarya merupakan proses memahami berbagai hal sekaligus ruang laboratorium sosial.
Reyna Atikah Salma


