Budaya membaca kini hadir dalam wajah yang berbeda. Jika dulu membaca identik dengan suasana sunyi di perpustakaan, kini generasi muda menemukan ruang baru: kafe. Buku bukan lagi sekadar jendela ilmu, melainkan juga simbol gaya hidup. Media sosial punya andil besar dalam mengubah cara pandang ini menampilkan buku dengan sampul estetis, dipadukan dengan secangkir kopi dan suasana senja yang syahdu.
Di Purwokerto, konsep ini menjelma nyata dalam bentuk Book Cafe. Salah satunya adalah Singgah Coffee and Book, tempat nongkrong yang sudah berdiri sejak 2016.
“Singgah pertama kali ada di Jogja tahun 2012, baru kemudian ekspansi ke Purwokerto tahun 2016. Awalnya kami ingin membawa konsep yang belum ada, terutama di Purwokerto. Perpaduan kopi dan buku ini kami tujukan untuk mahasiswa,” ujar Decha, storeman Singgah Coffee and Book Purwokerto.

Menurut Decha, sejak awal Singgah memang ingin menghadirkan ruang alternatif bagi anak muda. Bukan hanya tempat untuk minum kopi, melainkan juga ruang untuk belajar, kerja kelompok, bahkan sekadar menikmati bacaan ringan.
Suasana nyaman dan rak-rak buku yang tertata membuat Book Cafe menawarkan pengalaman berbeda. Novi, salah satu pengunjung, mengaku bahwa membaca di kafe memberinya kebebasan. “Orang punya style baca yang berbeda. Ada yang harus di tempat sepi, ada juga yang lebih suka santai sambil ngemil. Kalau di perpustakaan kan nggak boleh bawa makanan atau minuman. Jadi konsep kafe buku ini bisa jadi opsi buat teman-teman yang mau membaca dengan cara lebih fleksibel,” ujarnya.
Novi menambahkan, Singgah justru berhasil menumbuhkan kebiasaan membaca bagi sebagian pelanggan. “Banyak yang datang sendiri, memilih buku, lalu membaca. Dari tahun ke tahun selalu ada pengunjung baru yang tertarik.”

Fenomena Book Cafe menjadi salah satu warna baru dalam geliat literasi Indonesia. Data menunjukkan angka literasi di Indonesia mulai meningkat, menjadi kabar baik untuk masa depan. Apalagi, 20 tahun ke depan bangsa ini menatap Indonesia Emas 2045, di mana kualitas sumber daya manusia sangat ditentukan oleh kemampuan literasi.
Tak hanya sekadar tren media sosial, Book Cafe bisa menjadi ruang transisi yang menyenangkan. Dari sini, masyarakat mulai membiasakan diri membaca di luar ruang formal. “Tidak harus di perpustakaan. Bisa juga di taman baca, atau ruang lain yang lebih terbuka,” tambah Decha.
Media sosial pun ikut memperluas pengaruh. Setiap kali seseorang mengunggah aktivitas membaca di kafe, ada peluang orang lain ikut terinspirasi. Efek domino ini bisa memperluas dampak positif. Tingkat literasi yang baik bukan hanya tentang membaca buku, melainkan juga tentang kemampuan berpikir kritis, menyaring informasi, dan melahirkan ide-ide baru. Jika tren membaca di Book Cafe mampu bertahan, maka bukan mustahil kebiasaan ini akan menjadi fondasi untuk Indonesia yang lebih cerdas dan siap bersaing di masa depan. Di Purwokerto, secangkir kopi dan sebuah buku mungkin kini hanyalah gaya hidup. Tapi siapa tahu, dari sana lahir generasi emas yang tumbuh bersama kata-kata.
Fadhil Bagus Allam


