Pertanyaan sederhana yang seharusnya tak perlu menimbulkan keributan batin. Kita terbiasa percaya bahwa waktu adalah sesuatu yang pasti: ada detiknya, ada menitnya, dan seluruh penjuru dunia—entah di Cilacap atau di Copenhagen—mengikuti logika yang sama. Namun, di balik kepastian itu, ada sebuah kenyataan yang lebih rumit, lebih sosial, dan lebih manusiawi.
Allen Bluedorn, seorang peneliti manajemen di University of Missouri, punya pandangan menarik: waktu bukan sekadar angka di jam dinding, ia adalah konstruksi sosial. Manusia menyepakati waktu bukan karena waktu punya suara, tapi karena kita saling memengaruhi cara pandang satu sama lain.
Di Indonesia, kita tak hanya mengenal “pukul tujuh”. Kita juga mengenal “jam karet”, “sebentar lagi otw”, hingga “jalan abis Dhuhur”. Di Purwokerto, misalnya, janji bertemu pukul 10.00 bisa berarti 10.20 atau bahkan 11.00, bergantung siapa yang mengundang dan siapa yang diundang. Kita mengukur waktu tidak hanya dengan detik, tapi dengan norma sosial, kenyamanan, dan hubungan.
Di banyak bagian dunia, pertanyaan sederhana seperti berapa lama hari kerja itu sebenarnya? akan menghasilkan jawaban yang beragam. Amerika, Jepang, dan Eropa punya definisi masing-masing—dan sering kali mereka yakin definisi mereka paling “benar”. Tapi Indonesia, bersama banyak negara Asia dan Amerika Latin, punya jawaban yang lebih lentur: panjang hari kerja bukan hanya perkara jam, melainkan urusan ritme hidup. Kadang cepat, kadang lambat, kadang terhenti dulu untuk menyeduh kopi robusta di warung depan kantor.
Globalisasi dan Jam yang Seragam, Namun Manusianya Tidak
Tentu, dunia modern memaksa banyak negara menyeragamkan jam. Amerika saja baru resmi memiliki standar waktu nasional pada 1883—itu pun setelah para pemilik perusahaan kereta api bersikeras memintanya. Sebelumnya, setiap kota punya waktu lokal. Bahkan ketika waktu seragam diberlakukan, sebuah koran di Cincinnati menolak keras: “Biarlah kami tetap pada kebenaran yang ditulis matahari, bulan, dan bintang.”
Mirip perdebatan di desa-desa kita ketika sistem zonasi sekolah diberlakukan: seragam, tapi tidak selalu terasa adil, tidak selalu terasa cocok.
Kini, rantai suplai internasional, ekspedisi, logistik, semuanya menuntut kesepakatan waktu. Pesanan dari Banyumas harus tiba di Surabaya sebelum jam tutup sistem; rapat daring lintas negara harus menunggu peserta dari Tokyo yang hidup 2 jam lebih cepat.
Namun seragamnya jam tak pernah menjamin seragamnya budaya. Di Meksiko, sekelompok bankir Amerika bingung bukan main ketika rekan-rekan lokal menjadwalkan rapat pada jam yang menurut mereka “di luar nalar”—rapat yang dimulai saat mereka sudah siap pulang. Kita pun sering melihat mahasiswa rantau dari kota besar ke kampung merasa ritme hidup tiba-tiba melambat—begitu pula sebaliknya.
Antropolog Edward T. Hall menyebut perbedaan ini sebagai monochronic versus polychronic. Negara-negara seperti Amerika dan sebagian Eropa menganggap waktu sebagai sesuatu yang linier dan tegas: satu tugas diselesaikan sebelum pindah ke tugas berikutnya. Sebaliknya, negara-negara Asia, termasuk Indonesia, hidup dengan aliran waktu yang lebih cair—sebuah fleksibilitas yang sering dianggap “kurang disiplin”, padahal ia merupakan adaptasi budaya terhadap lingkungan, cuaca, ekonomi, dan relasi sosial.
Tempo Indonesia: Antara Santai dan Sungguh-Sungguh
Psikolog sosial Robert Levine pernah meneliti “tempo kehidupan” 31 negara lewat efisiensi kantor pos, ketepatan jam publik, dan kecepatan berjalan kaki di pusat kota. Hasilnya: Swiss, Irlandia, dan Jerman duduk di posisi tercepat. Sementara Meksiko, Brasil, dan Indonesia berada di posisi paling lambat.
Indonesia lambat? Barangkali benar. Tapi mungkin juga karena kita tidak hidup di bawah tekanan ritme seperti Zurich atau Berlin. Kita hidup dengan jeda: jeda untuk ngobrol, jeda untuk menawar, jeda untuk menyeruput es teh di warung nasi rames saat jam makan siang. Dan justru jeda itu yang sering membuat kita bertahan.
Maka pertanyaannya: apakah perbedaan-perbedaan ini akan hilang seiring dunia semakin saling terhubung? Apakah ritme Purwokerto, Makassar, atau Padang akan ikut dipercepat agar selaras dengan ritme Silicon Valley?
Levine yakin sebagian negara akan melaju lebih cepat, tapi perbedaan cara berpikir mengenai waktu akan tetap ada. “Sejak dulu manusia selalu berkata hidup semakin cepat,” ujarnya. “Tapi apakah sebenarnya hidup benar-benar terasa lebih cepat? Itu sulit diukur.”
Bluedorn bahkan mengkhawatirkan hilangnya keragaman budaya waktu. Dunia yang sepenuhnya selaras ritmenya mungkin akan lebih efisien, tetapi juga lebih sunyi. Tanpa benturan ritme, tanpa perbedaan tempo, kita kehilangan sudut pandang yang membuat manusia bisa saling belajar.
Waktu adalah Cermin Kultur.
Di desa-desa pesisir pantai, nelayan mengukur waktu dengan naik-turun pasang air laut. Di perbukitan, petani mengatur jadwal tanam mengikuti hujan pertama yang turun. Di kota besar, pegawai kantoran mengikuti kalender digital dan alarm ponsel. Di ruang-ruang keluarga, waktu bergerak mengikuti kebutuhan anak, kesehatan orang tua, dan ritme rumah.
Waktu yang kita jalani bukan satu. Ia berlapis-lapis, saling bertumpuk, kadang bertentangan, kadang menyatu. Dan justru di situlah kekayaan manusia berada: bahwa kita mampu hidup dalam banyak ritme sekaligus. Bahwa kita mampu mengatur hidup bukan hanya berdasarkan kecepatan mesin dan sistem, tetapi berdasarkan nilai yang kita anggap penting.
Pada akhirnya, pertanyaan itu kembali pada kita: Apakah kita ingin hidup mengikuti jam, atau mengikuti makna?
Karena jarum jam hanya memberi tahu kapan hari berubah tetapi manusialah yang menentukan bagaimana hari itu dijalani.
Giraloka


