Berbicara tentang cinta, setiap orang punya cara sendiri untuk mengekspresikannya. Pada manusia modern, kita mengenal konsep 5 love language (lima bahasa cinta) yang dipelopori Dr. Gary Chapman, dengan diantaranya yaitu Words of Affirmation, Quality Time, Receiving Gifts, Acts of Service, and Physical Touch. Tapi, pernahkah kamu bertanya, apa bahasa cinta pertama yang digunakan hewan untuk menarik perhatian? Apakah nyanyian romantis, gombalan receh, atau fisik yang mempesona? Jawabannya ternyata lebih sederhana, tapi juga lebih misterius. Bukan kata-kata, bukan tatapan mata, melainkan bau tubuh. Lebih tepatnya, feromon.
Menurut seorang Ahli Biologi Evolusioner Britania Raya, Tristram Wyatt, feromon adalah senyawa kimia yang diproduksi oleh tubuh dan dilepaskan ke lingkungan untuk memengaruhi perilaku hewan di sekitarnya. Bagi serangga, feromon betina digunakan untuk memengaruhi pejantan untuk menemui dirinya, sekalipun harus menempuh jarak yang jauh. Pada mamalia, zat ini tidak hanya untuk menarik lawan jenis, tetapi juga berfungsi untuk menandai wilayah dan menunjukkan dominasi (Rixon et al., 2024). Kadang pesan kimia itu berkata, “Ini wilayahku, jangan mendekat!” Tapi bisa juga berbisik, “Kau aman di sini.” Feromon ibarat “surat cinta kimia” yang dikirim tanpa amplop, tanpa tinta, namun dibaca sempurna oleh indera makhluk lain.
Lalu, bagaimana dengan manusia? Apakah kita masih menggunakan feromon untuk memikat seseorang?
Manusia ternyata masih memiliki Vomeronasal Organ (VNO), yaitu organ khusus untuk mendeteksi feromon (Zhang & Webb, 2003). Meski begitu, para ilmuwan meyakini bahwa fungsi organ ini pada orang dewasa telah menurun atau bahkan tidak aktif (Zaremska et al., 2021). Namun bukan berarti kita kebal terhadap pesona kimiawi itu. Bisa jadi, tubuh kita masih berkomunikasi dengan cara yang lebih halus, di luar kesadaran.
Ada sebuah fakta menarik dari penelitian Claus Wedekind dan rekan-rekannya pada tahun 1995. Dalam penelitiannya, beberapa wanita diminta mencium kaus yang telah dipakai oleh pria selama dua malam tanpa parfum atau sabun. Hasilnya, para wanita cenderung lebih menyukai aroma pria dengan gen HLA yang paling berbeda dari mereka. Gen HLA (Human Leukocyte Antigen) sendiri berperan penting dalam sistem kekebalan tubuh manusia. Ia membantu tubuh mengenali dan membedakan antara sel sendiri dan zat asing, seperti virus atau bakteri, sehingga dapat melawan infeksi dan mencegah penyakit autoimun (Shkurnikov et al., 2021). Secara biologis, hal ini sangat masuk akal. Perbedaan gen HLA berarti peluang keturunan dengan sistem imun yang lebih kuat. Misalnya, jika orang tuanya rentan terhadap penyakit tertentu, anaknya mungkin memiliki ketahanan yang lebih baik.
Namun jangan terburu-buru menarik kesimpulan bahwa cinta bisa dijelaskan sepenuhnya lewat biologi. Barangkali tubuh kita hanya sedang berusaha memastikan keberlangsungan generasi dengan caranya sendiri melalui sinyal-sinyal halus yang bahkan tak kita sadari.
Kita hidup di dunia yang riuh oleh suara, penuh kata-kata, namun seringkali yang paling membekas bukanlah apa yang diucapkan, melainkan kesan yang tertinggal. Sebagian kesan itu mungkin dikirim lewat feromon yang tak kasat mata, yang bekerja diam-diam di balik kesadaran. Manusia modern memang tak lagi sepenuhnya bergantung pada feromon; kita hidup di zaman parfum, di mana bau tubuh bisa disamarkan menjadi aroma mawar, buah, atau bahkan laut. Tapi siapa tahu, di balik wangi-wangian buatan itu, masih tersisa sesuatu yang lebih purba. Jejak kecil dari cara tubuh kita dulu jatuh cinta.
Dalam penelitian Kim et al. (2022) dan Kafaei et al. (2024), ditemukan bahwa aroma tertentu dapat memperkuat kesan sosial seseorang. Misalnya, aroma menenangkan seperti lavender mampu meredakan ketegangan dan stres, terutama jika berpadu dengan warna yang juga lembut. Sebaliknya, aroma citrus yang segar dapat membangkitkan perasaan bahagia, sementara peppermint mampu menghadirkan rasa nyaman, mengurangi lesu, bahkan meredakan rasa bersalah dan permusuhan. Namun yang lebih menarik adalah saat parfum dan aroma tubuh berpadu. Saat itu, persepsi kita tak lagi sekadar tentang bau, melainkan tentang emosi yang terbentuk dari dan diasosiasikan dengan aroma tersebut.
Mungkin inilah alasan mengapa kita masih bisa “mencium” seseorang bahkan setelah ia pergi. Otak manusia memiliki kemampuan luar biasa untuk menyimpan aroma dalam memori jangka panjang, lalu menautkannya dengan emosi yang pernah kita rasakan: kehilangan, kerinduan, kehangatan, bahkan cinta. Bagi manusia, aroma tidak hanya sekadar bau. Ia menjadi jembatan tak kasat mata yang menghubungkan masa kini dengan masa lalu. Dalam satu hembusan napas, tubuh kita dapat menghadirkan kembali pelukan, tawa, atau momen yang pernah begitu berarti.
Aroma tubuh dan parfum sama-sama berperan penting dalam membentuk kesan pertama, daya tarik, bahkan preferensi dalam hubungan sosial maupun romantis. Setiap aroma membawa pesan yang berbeda. Aroma alami seperti bau keringat dapat memberikan informasi tentang kondisi tubuh dan kompatibilitas biologis, sedangkan aroma diplomatik (seperti parfum atau deodoran) lebih mencerminkan citra diri yang ingin ditampilkan seseorang.
Penelitian menunjukkan bahwa aroma buatan seperti parfum cenderung menimbulkan kesan positif, seperti meningkatkan persepsi terhadap kepercayaan diri, kebersihan, dan daya tarik seseorang (Gaby & Zayas, 2017). Namun, aroma alami justru memiliki kedalaman emosional tersendiri. Misalnya, mencium aroma tubuh pasangan dapat menurunkan kadar stres dan menciptakan rasa aman secara psikologis. Sebaliknya, aroma orang asing justru dapat memicu peningkatan stres (Hofer et al., 2020).

Mungkin juga inilah mengapa pasangan sering kali terobsesi pada bau tubuh satu sama lain, meski tanpa parfum atau wewangian tambahan. Fenomena ini bahkan kerap muncul dalam berbagai unggahan di media sosial, seperti video Tiktok yang memperlihatkan seseorang terobsesi mencium ketiak pasangannya karena menghasilkan harum yang khas. Secara ilmiah, hal ini bukan sekadar kebiasaan unik atau bentuk kasih sayang spontan. Ketiak manusia diketahui memiliki konsentrasi feromon yang tinggi dan dapat memengaruhi suasana hati dan ketertarikan antar individu.
Dalam feromon manusia, terdapat dua senyawa steroid utama yang berperan besar terhadap respons emosional dan seksual, yaitu androstenone dan androstadienone. Keduanya ditemukan dalam keringat dan urine, terutama di area ketiak, yang merupakan salah satu pusat produksi feromon paling aktif pada manusia.
Androstenone berfungsi sebagai sinyal dominasi dan ketertarikan, sehingga sering diasosiasikan dengan kesan kuat atau maskulin. Sementara androstadienone bekerja lebih subtil, dengan meningkatkan suasana hati, konsentrasi, serta menciptakan respons emosional positif pada wanita. Sejumlah penelitian menemukan bahwa paparan androstadienone dapat membuat wanita merasa lebih tenang, fokus, dan nyaman berada di dekat pria yang memproduksinya.
Dengan begitu, feromon, tidak hanya memicu ketertarikan fisik, tetapi juga memengaruhi emosi antarindividu. Aroma yang dihasilkan tubuh bisa memperkuat rasa tenang, meningkatkan kebahagiaan, bahkan menularkan stres. Misalnya, bau keringat seseorang yang sedang cemas dapat memicu kecemasan pada orang lain yang menciumnya. Sebaliknya, penelitian juga menunjukkan bahwa pria dapat mengalami penurunan gairah seksual ketika mencium bau air mata wanita. Sebuah bukti bahwa bahasa tubuh kimiawi ini mampu berbicara jauh melampaui kata-kata.
Maka tidak aneh jika seringkali kamu menyukai harum dari ketiak pasangan. Bukan karena kamu memiliki kelainan pada ketertarikan, sebaliknya justru itu adalah fenomena yang sangat alami terjadi pada makhluk hidup.
Tubuh kita berbicara “aku cinta kamu”, feromon berbisik “aku milikmu”, dan parfum memberi kesan “jangan lupakan aku”. Kita menciptakan jejak bukan hanya melalui senyum atau tatapan mata, melainkan lewat aroma yang menempel, menetap lebih lama dari sentuhan, dan diam-diam menyelinap ke dalam ingatan. Siapa tahu, ada satu aroma yang akan selalu mengingatkanmu pada seseorang. Bukan semata karena baunya manis atau menyenangkan, tapi karena untuk sesaat melalui aroma itu, kamu merasa seolah ia masih di sisimu.
Aroma tubuh mungkin adalah bentuk komunikasi paling purba yang masih melekat dalam interaksi kita. Ketika kita merasa klikdengan seseorang atau malah merasa “nggak sreg” tanpa alasan jelas, mungkin sebenarnya tubuh kita menerima sinyal kimia yang tidak kita sadari. Sebuah bahasa tubuh yang tidak muncul dalam bentuk gestur atau tatapan, melainkan dalam bentuk keringat, udara, dan molekul kecil tak terucapkan yang masuk ke hidung, lalu membisikkan sesuatu ke otak dan hati.
Ada momen ketika kita merasa jatuh cinta pada pandangan pertama. Tapi mungkin yang sebenarnya terjadi adalah tubuh kita jatuh cinta lebih dulu. Dan mungkin, cinta tidak selalu bermula dari pandangan, melainkan dari napas yang perlahan membawa pesan yang ditulis oleh tubuh dan dibaca oleh jiwa.
Karena sering kali, kita jatuh cinta bukan hanya pada seseorang, tapi pada cara tubuhnya berbicara dalam diam. Pada aroma yang membawa pesan, bahkan sebelum satu kata pun terucap.
Penulis: Tanaya Aryo Jalu Bimantoro & Yasmine Awalia Evlin


