Jenang Bumbung: Manisnya Warisan yang Hampir Punah di Desa Kutaliman

Di tengah hiruk pikuk modernitas dan gempuran makanan kekinian, ada sebuah warisan kuliner yang masih bertahan di Desa Kutaliman, Kabupaten Banyumas. Namanya Jenang Bumbung, bukan sekadar penganan manis biasa, melainkan sebuah simbol identitas budaya yang telah bertahan selama generasi yang diturunkan. Di balik rasanya yang legit dan teksturnya yang lembut tersimpan kisah panjang tentang ketahanan budaya dan perjuangan
melestarikan warisan leluhur di tengah arus perubahan zaman.

Jenang Bumbung memiliki makna filosofis bagi masyarakat Jawa. “Bedanya dengan yang lain, kalau bumbung itu sendiri artinya bambu, jadi diberikan nama jenang bumbung atau jenang bambu,” jelas Bapak Muarjo (65 tahun), salah satu pembuat jenang bumbung yang masih bertahan di Kutaliman. Nama ini bukanlah kebetulan semata, melainkan mencerminkan keterkaitan erat antara makanan tradisional dengan alam sekitarnya, khususnya bambu yang menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat pedesaan Jawa.

Pemberian nama “bumbung” ini mengandung nilai-nilai luhur yang diwariskan dari nenek moyang. Bambu dalam kebudayaan Jawa melambangkan fleksibilitas, ketahanan, dan kemampuan bertahan dalam berbagai kondisi. Sifat-sifat ini tercermin dalam keberadaan Jenang Bumbung sendiri yang mampu bertahan hingga kini meskipun banyak makanan tradisional lainnya yang telah punah tergerus zaman.

Sejarah Jenang Bumbung tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat Jawa pada masa lalu. Bahan-bahan dasarnya ada pada beras, gula merah, dan kelapa merupakan komoditas yang mudah ditemukan di pedesaan Jawa. Beras diubah menjadi tepung, gula merah memberikan rasa manis khas, dan kelapa menambahkan aroma serta tekstur yang khas. Kombinasi sederhana ini menghasilkan cita rasa yang kompleks dan mendalam,mencerminkan kebijaksanaan leluhur dalam memanfaatkan sumber daya alam lokal.

Menurut Sekretaris Desa Kutaliman, Hari Sujatmiko (43), makanan ini merupakan bagian tak terpisahkan dari identitas budaya desanya. “Hal yang ditinggalkan atau diwariskan oleh leluhur kami, khususnya untuk makanan khas tradisional, di sini dikenal dengan jenang bumbung di Kutaliman. Ini satu-satunya warisan yang ada mungkin di Kabupaten Banyumas yang masih ada, yaitu di desa kami,” kata Hari dengan penuh kebanggaan.

Pernyataan ini sekaligus menjadi catatan penting tentang betapa langkanya warisan kuliner ini. Di tengah gempuran makanan modern dan perubahan selera konsumen, hanya Desa Kutaliman yang masih mempertahankan tradisi membuat Jenang Bumbung. Ini menjadikan desa ini sebagai benteng terakhir pelestarian kuliner tradisional di wilayah tersebut, sebuah tanggung jawab yang tidak ringan untuk diemban oleh generasi saat ini.

Bapak Muarjo, dengan pengalamannya selama puluhan tahun, telah menguasai setiap tahapan pembuatan Jenang Bumbung dengan sempurna. Prosesnya tidak bisa dianggap remeh, membutuhkan kesabaran, keuletan, dan pemahaman mendalam tentang karakteristik setiap bahan. Proses dimulai dengan pembuatan kinca. “Kinca itu gula merah dicairkan di kuali. Setelah cair, dicampurkan ampas kelapanya langsung sampai matang.” Tahap ini membutuhkan perhatian ekstra karena suhu yang terlalu tinggi bisa membuat gula gosong, sementara suhu yang terlalu rendah akan membuat kinca tidak matang sempurna.

Setelah kinca matang dan aromanya mulai tercium harum, tahap selanjutnya adalah mencampurkan tepung. “Setelah matang kemudian dicampur tepung,” tambahnya singkat. Padahal di balik kalimat singkat ini tersimpan rahasia perbandingan yang pas antara kinca dan tepung, sesuatu yang hanya bisa dipahami melalui pengalaman bertahun-tahun. Terlalu banyak tepung akan membuat jenang menjadi keras, sedangkan terlalu sedikit akan
membuatnya terlalu encer.

Kekhasan Jenang Bumbung terletak pada keseimbangan rasa antara manis dari gula merah dan gurih dari kelapa, ditambah dengan tekstur lembut dari tepung beras. Tidak ada pengawet buatan yang ditambahkan, sehingga jenang ini memiliki masa simpan yang terbatas namun jauh lebih sehat. Keterbatasan masa simpan ini justru menjadi bukti keaslian dan kemurnian produk, bebas dari bahan kimia yang membahayakan kesehatan.

Jenang Bumbung memegang peranan penting dalam berbagai acara adat dan tradisi masyarakat Kutaliman. Keberadaannya tidak hanya sebagai pelengkap hidangan, melainkan sebagai simbol dari kebersamaan dan rasa syukur. Dalam setiap perayaan penting, kehadiran jenang bumbung menjadi penanda bahwa acara tersebut berlangsung dengan sakral dan penuh makna. “Makanan olahan jenang bumbung sudah ada sejak dari leluhur kami atau dari nenek moyang kami dahulu,” jelas Hari Sujatmiko. “Dan makanan ini memang disuguhkan pada saat acara-acara tertentu.”

Dalam konteks budaya Jawa, makanan tradisional sering kali memiliki makna simbolis yang mendalam. Jenang Bumbung, dengan warnanya yang cokelat keemasan dan rasanya yang manis, sering diasosiasikan dengan harapan akan kehidupan yang manis dan makmur. Penyajiannya dalam acara-acara penting menjadi cara untuk mendoakan hal-hal baik bagi tuan rumah dan tamu undangan, sebuah ritual taktil yang menghubungkan manusia dengan harapan dan doa. “Acara adat, kalau di sini yang sekarang masih ada acara hajatan, sekarang lagi yang masih ada ya kegiatan-kegiatan yang istilahnya mengundang masyarakat, terkadang kita juga disuguhkan dengan makanan olahan, yaitu jenang bumbung,” tambah Hari. Dalam konteks ini, jenang bumbung menjadi medium sosial yang memperkuat ikatan komunitas, menciptakan kebersamaan melalui pengalaman kuliner bersama.

Di balik kekayaan budaya yang terkandung dalam Jenang Bumbung, tersimpan sebuah ironi yang menyedihkan. Di satu sisi, makanan ini adalah warisan berharga yang harus dilestarikan, di sisi lain, semakin sedikit generasi muda yang tertarik untuk melanjutkan tradisi ini. Bapak Muarjo mengungkapkan, “Sebenarnya, siapapun yang mau belajar perihal jenang bumbung saya kasih resepnya, tapi belum ada yang mau,” ungkap Bapak Muarjo. Keikhlasan ini seolah menjadi paradoks. Di satu sisi, Bapak Muarjo ingin warisan ini tetap hidup, di sisi lain, tidak ada generasi penerus yang tertarik untuk melanjutkan Jenang Bumbung. Generasi muda tampaknya lebih tertarik pada pekerjaan modern dengan penghasilan yang lebih pasti, daripada menggeluti usaha tradisional yang dianggap kurang menjanjikan. Tantangan ini tidak hanya dihadapi oleh Bapak Muarjo sendiri, tetapi juga oleh seluruh komunitas Kutaliman.

Meskipun diproduksi secara tradisional, Jenang Bumbung telah menembus batas-batas Desa Kutaliman. Bapak Muarjo tidak menjual langsung ke konsumen akhir, melainkan melalui jaringan distributor kecil yang telah terbentuk secara alami selama bertahun-tahun. Sistem distribusi ini, meskipun tidak formal, ternyata mampu membawa jenang bumbung ke berbagai daerah di sekitar Banyumas.

“Ada beberapa orang yang mengambil jenang bumbung dari saya,” jelas Bapak Muarjo. “Ada yang jualan keliling, ada juga yang taro di pasar. Yang paling banyak itu di daerah Baturaden.” Pola distribusi ini menunjukkan adanya permintaan yang konsisten meskipun tidak masif. Sistem distribusi yang masih tradisional ini juga memiliki keterbatasan.

Di tengah berbagai tantangan yang dihadapi, harapan untuk masa depan Jenang Bumbung masih ada. Pemerintah desa dan komunitas Kutaliman memiliki visi yang jelas tentang bagaimana menjadikan jenang bumbung sebagai aset budaya yang dapat mendatangkan kesejahteraan bagi masyarakat sekaligus melestarikan identitas lokal. “Untuk harapan kami terkait dengan jenang bumbung sangat berharap sekali makanan ini menjadi ikon khas dan bahkan ingin makanan Jenang Bumbung ini benar-benar ada semacam perlindungan hak. Hak bahwa ini adalah asli dari desa kami,” kata Hari dengan tekad. Pernyataan ini mencerminkan kesadaran akan pentingnya perlindungan kekayaan intelektual untuk produk tradisional, sesuatu yang sering terabaikan dalam konteks kuliner lokal.

Talitha Nabilah Pranoto

Pos Terbaru

GIRALOKA berupaya menjadi media yang terbuka bagi banyak suara, mudah dicerna tanpa kehilangan ketajaman analisis, serta relevan di tengah gempuran informasi digital yang serba cepat. Kami ingin menghadirkan bacaan yang ringan tapi bermakna, alternatif tetapi tetap dapat dipercaya, sehingga pembaca tidak hanya sekadar mengonsumsi informasi, melainkan juga diajak untuk memahami, meresapi, dan—pada akhirnya—ikut menyumbangkan suara.