Batir Isyarat Banyumas: Merajut Asa dan Bahasa dalam Senyap

BANYUMAS – Di tengah dunia yang penuh suara, sekelompok anak muda di Banyumas memilih berjuang dalam keheningan. Mereka adalah Batir Isyarat Banyumas (BIB), komunitas yang menjadi jembatan antara teman Tuli dan teman Dengar. Di balik dinamika mereka yang beragam, tersimpan semangat bersama untuk menciptakan Banyumas yang lebih inklusif, satu bahasa isyarat dalam satu langkah kecil.

Perjalanan BIB dimulai dari sebuah komunitas bernama Sahabat Dengar yang berdiri pada 26 November 2018. Saat itu, sekelompok teman Dengar tergerak membantu teman Tuli dengan membuat wadah kebersamaan. Namun pandemi membuat kegiatan mereka terhenti selama hampir satu tahun. Masa hening itu justru menjadi titik balik.

“Awal 2020–2021 sempat vakum. Kemudian aktif lagi 2022 dan kami berkumpul kembali, antara teman Dengar dan teman Tuli,” cerita Akas Yusuf Sugito, relawan BIB. Dari pertemuan itu lahirlah kesepakatan untuk berubah. Pada 16 September 2022, Sahabat Dengar resmi berganti nama menjadi Batir Isyarat Banyumas. Kata batir yang berarti “teman sejati” dalam bahasa Jawa dipilih untuk menegaskan semangat kesetaraan dan persahabatan yang lebih dalam.

BIB lahir dari kenyataan bahwa akses bagi teman Tuli masih sangat terbatas. “Karena aksesibilitas untuk orang Tuli masih terbatas dan mereka masih mendapatkan diskriminasi. Keterbatasan akses di berbagai bidang di Banyumas, itulah alasan mengapa organisasi ini didirikan,” jelas Akas yang juga mahasiswa akhir Universitas Jenderal Soedirman.

Visi mereka jelas, membangun lingkungan Banyumas yang lebih inklusif. Harapan itu diwujudkan melalui berbagai program, seperti kelas bahasa isyarat, kolaborasi dengan komunitas lain, dan rencana kerja sama dengan pemerintah daerah untuk pelatihan guru bahasa isyarat.

Struktur yang Memihak Budaya Tuli

Struktur organisasi BIB dirancang dengan sensitivitas tinggi terhadap budaya Tuli. Secara umum, kepengurusan terdiri dari Koordinator, Wakil Koordinator, Bendahara, dan Sekretaris. Namun operasional komunitas dijalankan oleh lima departemen: Relawan Tuli, Relawan Dengar & Juru Bahasa Isyarat (JBI), Hubungan Eksternal, Media & Informasi, dan Program.

Pembagian tugas bukan sekadar administratif, tetapi bentuk penghormatan terhadap cara komunikasi teman Tuli. Hampir semua posisi koordinator dipegang oleh teman Tuli, kecuali Departemen Hubungan Eksternal. “Alasannya karena teman Tuli punya kebiasaan yang berbeda dengan teman Dengar. Contohnya, susunan kalimat teman Tuli berbeda dengan susunan kalimat teman Dengar yang memakai pola SPOK. Bahasa Isyarat Indonesia (BISINDO) memiliki struktur sendiri yang lebih visual dan kontekstual,” jelas Akas.

Dengan menempatkan teman Dengar di posisi komunikasi eksternal, BIB memastikan pesan dapat diterima dengan baik oleh mitra dan pihak luar, tanpa mengubah makna dari komunitas Tuli sendiri.

Norma Tak Tertulis dan Tantangan Komunikasi

Sebagai komunitas yang hidup dalam dua dunia, BIB memiliki norma tak tertulis yang dijunjung semua anggotanya, terutama teman Dengar. “Kami sebagai orang yang mendengar harus mendukung dan mengikuti budaya teman Tuli,” kata Akas.

Dalam setiap rapat atau kegiatan, semua anggota wajib menggunakan bahasa isyarat. Saat pertemuan daring, peserta diharapkan menyalakan kamera agar ekspresi wajah, gerak bibir, dan bahasa tubuh tetap terlihat. Elemen itu adalah bagian penting dari komunikasi isyarat.

Namun perjalanan mereka tidak selalu mudah. Hambatan terbesar datang dari komunikasi dan kesibukan anggota. Sebagian besar anggota BIB sudah bekerja, sehingga sulit menyesuaikan
waktu rapat. Selain itu, perbedaan struktur bahasa juga membuat diskusi berlangsung lebih lama. “Saat melakukan pemaparan, teman Tuli agak sulit memahami penjelasan yang disampaikan dengan struktur bahasa Indonesia formal. Terdapat perbedaan cara berkomunikasi yang mendasar,” ujarnya.

Rapat sering kali berlangsung hingga larut malam. Meski begitu, semua anggota memaklumi kondisi ini. “Rapat sering sampai tengah malam karena komunikasi lumayan terhambat. Tapi semua anggota memahami keadaan ini,” tambah Akas. Kesabaran menjadi kunci utama agar setiap pesan bisa tersampaikan dengan baik.

Pendanaan Swadaya dan Pintu untuk Bergabung

Sebagai komunitas lokal, BIB tidak mendapat dukungan dana tetap dari pemerintah. Mereka mengandalkan iuran wajib anggota dan honorarium dari kegiatan seperti workshop atau undangan sebagai pembicara.

Setiap tahun, BIB membuka pendaftaran pengurus baru. “Syaratnya menyesuaikan dengan tiap departemen, tapi yang paling penting itu niatnya,” ujar Akas. Kemampuan bahasa isyarat bukan syarat utama. Yang terpenting adalah kesabaran dan kemauan untuk belajar.

BIB percaya bahwa menjadi bagian dari komunitas ini bukan hanya soal belajar bahasa tangan, tapi juga belajar memahami hati. Di ruang yang tenang dan penuh gerakan, mereka membuktikan bahwa suara sejati tidak selalu terdengar. Kadang, justru dalam senyaplah arti inklusi paling lantang disuarakan.

Safurotul Laili Maarif

Pos Terbaru

GIRALOKA berupaya menjadi media yang terbuka bagi banyak suara, mudah dicerna tanpa kehilangan ketajaman analisis, serta relevan di tengah gempuran informasi digital yang serba cepat. Kami ingin menghadirkan bacaan yang ringan tapi bermakna, alternatif tetapi tetap dapat dipercaya, sehingga pembaca tidak hanya sekadar mengonsumsi informasi, melainkan juga diajak untuk memahami, meresapi, dan—pada akhirnya—ikut menyumbangkan suara.