Ada sebuah ironi yang semakin jelas terasa dalam kehidupan budaya populer kita hari ini. Setiap kali kalender berganti tahun, seakan bukan hal-hal baru yang kita sambut, melainkan kembalinya wajah lama yang dipoles ulang. Film klasik di-remake, band-band lama reuni, acara televisi menghadirkan edisi khusus nostalgia, bahkan mode berpakaian seolah berputar di jalur lingkaran waktu tanpa akhir. Kita hidup di zaman yang lebih sibuk merayakan masa lalu ketimbang menantikan masa depan.
Fenomena ini bukan sekadar perasaan. Industri hiburan secara global menunjukkan pola yang sama. Film-film laris di bioskop banyak berasal dari franchise lama: Star Wars, Jurassic Park, Harry Potter, hingga The Lion King yang di-remake dalam versi digital. Musik pun serupa. Konser reuni Coldplay, Guns N’ Roses, atau bahkan band-band lokal yang kembali naik panggung selalu disambut dengan antusiasme luar biasa. Mode pun tak ketinggalan—gaya 90-an dengan celana gombrong, kemeja kotak-kotak, dan sepatu sneakers klasik kembali dianggap keren, seakan baru ditemukan.
Namun, di balik keseruan itu, ada sebuah pertanyaan yang lebih dalam: mengapa budaya populer kita tampak begitu terikat dengan masa lalu? Dan apa konsekuensinya jika kecenderungan ini terus berlanjut?
Nostalgia sebagai Komoditas
Salah satu kunci untuk memahami fenomena ini adalah melihat nostalgia bukan hanya sebagai perasaan pribadi, melainkan sebagai komoditas. Nostalgia dijual, dikemas, dan dipasarkan. Bagi industri hiburan, menghidupkan kembali sesuatu yang sudah pernah populer jauh lebih aman ketimbang mengambil risiko menghadirkan hal yang benar-benar baru.
Produser film tahu betul: remake atau reboot dari cerita lama akan memiliki basis penonton yang sudah terjamin. Penikmat musik juga cenderung membayar lebih mahal untuk konser reuni band yang pernah mereka idolakan di masa muda. Begitu pula dengan mode; sepatu edisi lama yang diproduksi ulang sering kali lebih cepat habis terjual daripada model terbaru yang benar-benar orisinal.
Dengan kata lain, nostalgia bukan lagi sekadar kenangan, tapi bisnis besar. Industri menemukan cara untuk memanen kerinduan kolektif terhadap masa lalu, menjadikannya bahan bakar ekonomi yang terus diproduksi ulang. Setiap kali kita membeli tiket konser reuni atau menonton remake film lama, kita sesungguhnya sedang membayar untuk perasaan hangat yang pernah kita rasakan bertahun-tahun lalu.
Psikologi di Balik Kerinduan
Mengapa nostalgia begitu kuat daya tariknya? Jawabannya bisa dilacak pada aspek psikologis manusia. Masa lalu sering kali memberi rasa aman. Kenangan membawa kita kembali pada momen-momen yang sudah pasti, tidak lagi penuh ketidakpastian seperti masa depan. Dalam dunia yang terasa semakin kacau—dengan krisis ekonomi, perubahan iklim, dan ketidakstabilan politik—kembali pada sesuatu yang familiar menjadi bentuk pelarian yang menenangkan.
Musik lama, misalnya, bukan hanya soal nada dan lirik, melainkan juga tentang perasaan yang menyertainya. Lagu yang pernah kita dengarkan di masa remaja membawa kita kembali pada rasa jatuh cinta pertama, persahabatan yang polos, atau euforia muda yang tak tergantikan. Begitu pula dengan film atau acara televisi lama: ia menjadi pintu masuk ke masa ketika dunia tampak lebih sederhana.
Bagi generasi yang lebih muda, nostalgia bekerja dengan cara yang berbeda. Mereka mungkin tidak mengalami langsung masa lalu yang dirayakan, tetapi mereka tetap tertarik pada estetika retro karena menghadirkan kesan “otentik” dan “keren.” Itulah mengapa anak muda bisa saja mengidolakan band atau gaya berpakaian dari dekade sebelum mereka lahir. Nostalgia, dalam hal ini, menjadi semacam identitas lintas generasi.
Identitas Zaman yang Kabur
Namun, di balik pesona nostalgia, ada konsekuensi yang perlu dicatat. Ketika budaya populer terlalu sibuk menoleh ke belakang, masa kini menjadi kehilangan ciri khasnya. Kita sulit mendefinisikan apa sebenarnya yang membuat era sekarang berbeda.
Bayangkan jika suatu saat di masa depan, sejarawan budaya mencoba merangkum identitas era 2010-an atau 2020-an. Apa yang akan mereka temukan? Musik yang mendaur ulang gaya 80-an atau 90-an? Film yang sebagian besar merupakan reboot? Mode yang kembali ke jeans longgar dan sepatu retro? Semua itu membuat era kita tampak seperti kolase dari masa lalu, bukan babak baru yang mandiri.
Perbedaan ini sangat terasa bila dibandingkan dengan dekade sebelumnya. Enam puluhan identik dengan rock dan gerakan hippie. Tujuh puluhan membawa semangat punk dan disko. Delapan puluhan diingat sebagai era lahirnya hip-hop dan synth-pop. Sembilan puluhan menjadi rumah bagi grunge dan Britpop. Setiap dekade seolah memiliki “warna” khas yang sulit disalahpahami. Tapi bagaimana dengan era kita? Semuanya kabur, seperti bayangan yang tumpang tindih.
Televisi dan Budaya Lokal
Fenomena ini bukan hanya terjadi di Barat. Di Indonesia, televisi sering menayangkan kembali program lama dalam bentuk reuni atau edisi spesial. Acara musik yang populer di tahun 90-an atau awal 2000-an, seperti Inbox atau KDI, muncul kembali dalam format mirip dengan alasan “membangkitkan kenangan.” Sinetron lama juga di-remake, dengan pemain baru yang mencoba menghidupkan karakter klasik.
Sekilas, ini tampak sebagai penghormatan. Namun, jika dicermati lebih jauh, pola ini juga menandakan krisis kreativitas. Alih-alih menghadirkan cerita baru yang mencerminkan realitas hari ini, industri lebih memilih mengulang resep lama. Akibatnya, penonton dipaksa untuk terus hidup dalam lingkaran memori kolektif yang itu-itu saja.
Kecenderungan ini membawa dampak besar bagi generasi muda. Mereka tumbuh di tengah budaya populer yang dipenuhi oleh nostalgia, bahkan sebelum mereka memiliki cukup kenangan pribadi untuk dirayakan. Alih-alih membayangkan masa depan dengan imajinasi segar, mereka justru belajar bahwa jalan aman adalah mengulang.
Seorang remaja hari ini bisa mengidolakan band yang bubar sebelum ia lahir, atau mengenakan gaya berpakaian yang populer dua puluh tahun lalu. Tidak ada yang salah dengan itu. Namun, jika seluruh budaya populer didominasi oleh kilas balik, maka kesempatan generasi ini untuk membentuk identitas khasnya sendiri akan menyusut. Masa depan akan terasa seperti ruang sempit yang sudah dipenuhi furnitur lama.
Ancaman yang Diam-diam Menggerogoti
Di titik ini, kita bisa melihat bahwa ancaman dari nostalgia bukanlah kehancuran yang datang tiba-tiba, melainkan pengikisan perlahan. Seperti sungai yang berubah menjadi danau tenang, budaya populer kehilangan arus deras yang seharusnya mendorong kita maju.
Budaya adalah mesin imajinasi kolektif. Ia bekerja bukan hanya untuk menghibur, tetapi juga untuk membuka kemungkinan baru tentang siapa kita dan apa yang bisa kita capai. Ketika mesin itu hanya diisi dengan bahan bakar dari masa lalu, ia kehilangan kemampuan untuk menjelajah ke wilayah yang belum dikenal.
Nostalgia memang memberi kenyamanan, tapi jika dibiarkan menguasai seluruh lanskap budaya, ia bisa menjadi jebakan yang membuat kita lupa bagaimana rasanya bergerak maju. Alih-alih menjadi jembatan, masa lalu berubah menjadi jangkar.
Budaya populer yang terjebak nostalgia adalah seperti orang yang terlalu lama menatap foto album lama: ada rasa hangat, ada tawa, ada tangis, tetapi semua itu hanya bayangan. Kita bisa terus menatapnya, bahkan menikmatinya, tapi tidak ada langkah baru yang diambil.
Itulah ancaman diam-diam yang kita hadapi hari ini: masa kini yang kehilangan identitas, dan masa depan yang semakin kabur.


