Di negeri kita tercinta ini, angka kemiskinan bisa berubah rasa hanya dengan siapa yang mengucapkannya. Pemerintah dengan lantang menyebut kemiskinan menurun: pada Maret 2024, BPS (Badan Pusat Statistik) mencatat angka kemiskinan Indonesia berada di kisaran 9,03%, turun dari tahun-tahun sebelumnya. Angka ini kerap dipakai pejabat sebagai bukti keberhasilan pembangunan. Namun, bila kita lihat dari kacamata global, misalnya standar Bank Dunia (World Bank) dengan garis kemiskinan USD 3,65 per hari, maka jumlah orang miskin Indonesia jauh lebih besar—bisa menembus lebih dari 25% populasi. Jadi, siapa sebenarnya yang harus kita percaya: pemerintah yang gemar berpidato tentang keberhasilan, atau realitas di lapangan yang menunjukkan jutaan orang masih berjibaku memenuhi kebutuhan paling dasar?
Pola manipulasi narasi ini juga muncul di tingkat daerah, termasuk di Kabupaten Banyumas. Di atas kertas, Banyumas dianggap punya potensi ekonomi kuat: ratusan ribu UMKM tumbuh, terutama di sektor kuliner dan perdagangan. Di media lokal, pejabat sering menggaungkan jargon bahwa UMKM adalah “tulang punggung” ekonomi rakyat. Namun, pertanyaannya: benarkah Banyumas akan makmur dengan UMKM yang menjamur tanpa arah, atau justru terjebak dalam ilusi ekonomi berbasis warung kopi?
Jika mau jujur, Banyumas bukanlah Karawang atau Bekasi yang punya sejarah sebagai kota industri padat karya. Identitas Banyumas lebih melekat pada wisata alam seperti Baturaden, Telaga Sunyi, dan ratusan curug yang selalu ada untuk di eksplorasi dan kuliner khas (mendoan, gethuk goreng, soto Sokaraja), hingga reputasinya sebagai kota yang nyaman bagi mahasiswa dan pensiunan. Banyak konten kreator dan artis ibu kota yang berkunjung ke Purwokerto selalu menekankan satu hal: “Kota ini adem, ramah, dan enak untuk menikmati hidup.”
Maka aneh rasanya jika pembangunan ekonomi Banyumas selalu ditimbang dengan logika industri manufaktur besar. Banyumas tidak butuh pabrik baja, kawasan industri otomotif, atau deretan cerobong asap. Yang dibutuhkan adalah investasi cerdas yang sejalan dengan identitasnya: wisata, budaya, ekonomi kreatif, dan agribisnis modern.
Pertumbuhan UMKM di Banyumas memang impresif secara angka: puluhan ribu usaha kuliner, belasan ribu warung kopi, dan berbagai toko kreatif. Tetapi banyak di antaranya adalah UMKM bertahan hidup, bukan UMKM berkembang. Mereka cenderung usaha keluarga kecil dengan tenaga kerja terbatas, minim akses modal, dan bergantung pada pasar lokal.
Alih-alih mengintegrasikan UMKM dengan ekosistem wisata atau menjadikannya bagian dari strategi besar, pemerintah justru berhenti pada jargon. UMKM diangkat ke panggung seremoni, dimasukkan ke katalog pameran, tapi dilepas begitu saja tanpa dukungan serius. Akhirnya, masyarakat memang bergerak, tapi sendirian.
Dua bangunan ikonik di Purwokerto, eks Moro dan eks Terminal Kebon Dalem, adalah saksi nyata gagalnya pemerintah membuka investasi yang tepat. Eks Moro dulunya pusat belanja, kini mangkrak bertahun-tahun. Eks Terminal Kebon Dalem pun bernasib sama, ditinggalkan tanpa rencana jelas karena kasus sengketa. Bangunan besar itu ibarat monumen bisu: bukannya jadi pusat pertumbuhan ekonomi, justru jadi simbol stagnasi.
Namun, di tengah mangkraknya pembangunan, masyarakat—terutama anak muda—justru bergerak. Di kawasan eks Kebon Dalem, ada Kedai Sarinah dan Kedai Pankoi, dua contoh UMKM kreatif yang mulai mengubah wajah kawasan terbengkalai. Mereka menghidupkan kembali ruang-ruang mati dengan energi baru: nongkrong dan interaksi sosial anak muda.
Fenomena ini bisa dibaca dengan dua cara. Pertama, sebagai bukti daya tahan masyarakat: ketika negara gagal, rakyat menambal. Kedua, sebagai ironi telak bagi pemerintah: alih-alih menghadirkan investasi strategis untuk menghidupkan aset daerah, pemerintah malah membiarkan masyarakat mengelola puing-puing kebijakan mangkrak.
Sempat ramai menjadi topik pembicaraan warganet tentang pemerintah Banyumas yang melakukan audiensi dengan dua konglomerasi nasional untuk berinvestasi. Tetapi pertanyaan mendasar muncul: apakah Banyumas benar-benar masih butuh mal baru? Apakah menambah satu gedung raksasa berisi toko waralaba sejalan dengan karakter Banyumas yang lebih dikenal sebagai kota wisata dan kota nyaman, bukan kota industri atau kota belanja? Investasi di sini tidak harus berupa mal atau pabrik, melainkan pengelolaan ruang kota yang kreatif, padat karya, dan relevan dengan identitas Banyumas sebagai kota wisata dan nyaman.
Sayangnya, pemerintah seolah tidak punya imajinasi. UMKM dipuja sebagai solusi, tapi tanpa jembatan ke potensi wisata, akhirnya hanya jadi usaha kecil berserakan. Pemerintah mendorong orang membuka kedai kopi, tapi lupa menyiapkan arsitektur besar agar kedai-kedai itu jadi bagian dari strategi pembangunan, bukan sekadar tempat nongkrong.
Di tingkat wacana, UMKM diposisikan sebagai jawaban atas terbatasnya lapangan kerja. Di tingkat realitas, UMKM Banyumas tumbuh bukan karena strategi pemerintah, melainkan karena rakyat terpaksa mencari jalan hidup. Kasus Moro dan Terminal Kebon Dalem memperlihatkan itu dengan gamblang: ketika negara tak hadir, rakyat menciptakan kehidupannya sendiri.
Jika pemerintah terus gagal membuka kran investasi yang relevan, mungkin seluruh Purwokerto lambat laun akan berubah jadi kafe raksasa. Anak muda bisa nongkrong di mana saja, Wi-Fi gratis tersedia di setiap sudut, dan ekonomi Banyumas didefinisikan oleh harga segelas kopi susu. Tidak ada yang salah dengan kopi, tapi akan sangat ironis jika seluruh arah pembangunan diserahkan pada barista ketimbang pada perencana kota.
Banyumas tidak butuh pabrik raksasa. Banyumas butuh arah pembangunan yang cerdas, yang menautkan UMKM dengan wisata, yang menghidupkan ruang kota mangkrak, yang mengundang investasi sesuai identitas daerah. Jika tidak, UMKM hanya akan jadi tameng retoris pemerintah: terlihat ramai, tapi rapuh. Dan sementara pejabat sibuk memamerkan angka kemiskinan yang terus menurun, rakyat Banyumas tahu persis: mereka bertahan hidup bukan karena strategi negara, melainkan karena kreativitas mereka sendiri, bahkan di atas reruntuhan bangunan mangkrak.
Giraloka


