Pasar, dalam kerangka konseptual, bukan hanya ruang ekonomi semata. Ia adalah ruang sosial di mana interaksi manusia berlangsung dalam intensitas paling nyata. Jika merujuk pada pemikiran Henri Lefebvre tentang the production of space, pasar tradisional dapat dipahami sebagai ruang yang tidak hanya dihasilkan oleh kebutuhan material, melainkan juga oleh praktik sosial, simbol, dan representasi budaya. Dengan kata lain, pasar tradisional adalah lived space—ruang hidup—yang menyatukan pertukaran ekonomi dengan dimensi sosial dan kultural. Terminologi “pasar” itu sendiri merujuk pada arena pertukaran, sementara “tradisional” mengandung makna kesinambungan dan keberlanjutan nilai yang diwariskan lintas generasi.
Tidak berlebihan jika pasar tradisional dijadikan tolok ukur kualitas pengelolaan suatu daerah. Bagaimana pemerintah memperhatikan pasar, menatanya, serta menjaga fungsinya, sering kali menjadi indikator dari sejauh mana perhatian terhadap rakyat. Pasar tradisional yang bersih dan tertata menunjukkan keseriusan negara dalam memelihara ruang sosial-ekonomi, sedangkan pasar yang terabaikan cenderung menampilkan wajah lain: lemahnya komitmen pemerintah daerahdalam merawat denyut nadi ekonomi warganya. Dalam perspektif Michel Foucault, pasar tradisional dapat dibaca sebagai bentuk governmentality—ruang pemerintahan—yang merefleksikan relasi kuasa antara penguasa dan warganya.
Contoh nyata dapat ditemukan di Pasar Manis Purwokerto. Pasar ini, salah satu yang terbesar di Banyumas, bukan sekadar ruang jual beli, tetapi juga menjadi destinasi wisata lokal. Bagaimana tidak, pada tahun 2019, Pasar Manis ditetapkan sebagai pasar dengan Pengelolaan Terbaik 1 Tingkat Nasional dari Kementerian Perdagangan. Setelah dilakukan revitalisasi dan penataan ulang diatas tanah Gedung Soetedja, pasar ini menarik bukan hanya bagi pembeli rutin, tetapi juga bagi pengunjung dari luar kota, bahkan para kreator konten. Aktivitas di dalamnya tidak lagi hanya dipandang dari fungsi utilitarian—membeli sayur, buah, atau pakaian—tetapi juga dari sisi visual dan estetik yang dapat direproduksi dalam bentuk konten-konten panarik turis lokal. Bagi para konten kreator, mungkin Pasar Manis bisa memberi opsi destinasi lain berwisata di Purwokerto itu bukan hanya mengunjungi Curug dan Baturraden tapi juga pengalaman berbelanja atau sekedar mencari sarapan di pasar tradisional dengan nyaman setelah melihat unggahannya di TikTok atau Instagram. Mengutip Jean Baudrillard, pasar semacam ini bergerak ke arah “hiperrealitas”: pasar hadir tidak hanya sebagai tempat nyata, melainkan juga sebagai citra yang dapat dikonsumsi secara simbolik.
Namun, fenomena serupa tidak terjadi merata. Pasar tradisional yang berlokasi di pusat kota, seperti Pasar Manis ini, memiliki peluang lebih besar untuk dikelola, ditata, dan diangkat sebagai salah satu wajah destinasi. Mungkin salah satu faktornya juga karena lokasinya yang hanya berjarak 600 meter dari Stasiun Purwokerto, yaa, salah satu akses populer masuknya para wisatawan luar daerah. Hal ini berbeda jauh dengan pasar tradisional di daerah pinggiran atau pedesaan. Pasar-pasar di pinggiran kota sering kali tetap menjalankan fungsi primernya—sekadar ruang transaksi kebutuhan sehari-hari—tanpa mengalami penetrasi budaya digital yang signifikan. Gap demografis antara kedua jenis pasar ini terasa jelas: pasar di kota cenderung lebih heterogen, dengan pengunjung dari berbagai kelas sosial, termasuk wisatawan dan kalangan menengah-atas, sedangkan pasar yang jauh dari kota lebih homogen, diisi oleh masyarakat lokal dengan pola konsumsi yang relatif stabil. Dengan kata lain, pasar di pusat kota lebih rentan terjebak dalam komodifikasi visual, sementara pasar pinggiran masih menjaga otentisitasnya, meskipun dengan keterbatasan fasilitas.
Fenomena transformasi pasar ini bukan hal baru. Pada tahun 2014–2015, Pasar Santa, yang merupakan Pasar lingkungan blok Q di Petogogan, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan mengalami lonjakan popularitas drastis. Dari pasar yang sepi, ia tiba-tiba menjadi sangat populer sebagai ruang alternatif anak muda urban, lebih sebagai tempat nongkrong ketimbang belanja bahan pokok. Namun, ketika tren meredup, banyak ruang di pasar itu kembali lengang. Salah satu penyebab pasar akhirnya kembali sepi adalah karena terlalu menggantungkan diri pada generasi muda yang datang hanya saat ada tren. Sementara itu, para orang tua sebenarnya punya kenangan kolektif tentang Pasar Santa sebagai pasar tradisional—tempat mereka dulu belanja, ngobrol, dan bersosialisasi. Sayangnya, seiring waktu, pasar itu terasa makin kurang ramah untuk mereka. Pola serupa terlihat di Pasar Papringan, Temanggung, yang awalnya digagas sebagai ruang pemberdayaan lokal berbasis ekologi, tetapi dalam perjalanannya kerap diperlakukan lebih sebagai latar estetik bagi konten media sosial ketimbang arena pertukaran riil antara produsen dan konsumen.
Kisah-kisah ini memperlihatkan bahwa pasar tradisional tidak pernah statis. Ia terus bergerak, bertransformasi, dan menyesuaikan diri dengan konteks zaman. Pasar dapat menjadi ruang ekonomi, panggung budaya, sekaligus objek estetika digital. Namun, dalam setiap pergeserannya, pasar menghadirkan pertanyaan reflektif: apakah ia masih dapat dipahami sebagai arena pertukaran yang otentik, ataukah ia telah menjadi simbol yang lebih banyak dikonsumsi daripada dijalani? Pada akhirnya, pasar tradisional tetap bertahan bukan hanya karena fungsinya, tetapi juga karena kemampuannya beradaptasi—dengan cara-cara yang kadang paradoksal, kadang tak terduga.
Giraloka


