Kenapa Harga Tanah di Purwokerto Naik Pesat? Sisi Lain yang Jarang Disadari

Mimpi Purwokerto dan Realita Harga Tanah

Bayangkan seorang perantau asal Purwokerto yang kembali pulang setelah lima tahun bekerja di kota besar. Ia kembali dengan mimpi sederhana: membeli sepetak tanah di kota kelahirannya, membangun rumah yang nyaman, dan menikmati hidup yang lebih tenang. Namun, mimpi itu seketika terasa jauh panggang dari api saat ia melihat brosur properti. Angka-angka yang tertera di sana terasa asing, bahkan mengejutkan. Harga tanah yang ia ingat dulu masih terjangkau, kini telah meroket, seolah mengejar harga di kota-kota satelit Jakarta.

Apa yang sebenarnya terjadi? Tentu, jawaban paling mudah adalah ekonomi. Purwokerto memang sedang berkembang. Statusnya sebagai kota pendidikan dengan universitas-universitas ternama, pembangunan infrastruktur seperti jalan tol yang semakin dekat, dan pesatnya pusat perbelanjaan baru adalah alasan-alasan logis yang sering kita dengar. Namun, jika kita hanya berhenti pada penjelasan itu, kita kehilangan separuh dari cerita yang sesungguhnya.

Kenaikan harga yang luar biasa cepat ini tidak sepenuhnya digerakkan oleh baja, beton, dan angka statistik. Ada kekuatan tak kasat mata yang bekerja di baliknya: kekuatan cerita, bisikan dari lingkungan sekitar, dan permainan psikologi pasar. Kisah di baliknya jauh lebih dalam, melibatkan bagaimana sebuah informasi dibentuk, dipercaya, dan menyebar dari satu orang ke orang lain, yang tanpa kita sadari menjadi ‘bumbu’ utama yang membuat harga tanah terasa begitu panas hari ini.

Bagaimana Media dan Iklan Membentuk Persepsi Kita

Coba perhatikan, bagaimana berita atau iklan properti di sekitar kita disajikan. Mereka tidak sekadar menjual tanah; mereka menjual sebuah narasi. Sering kali kita mendengar frasa magis seperti “investasi sunrise property,” “unit terbatas,” atau “harga akan terus naik!”. Kalimat-kalimat ini bukan sekadar informasi, melainkan sebuah bingkai (frame) yang secara sengaja membangun perasaan mendesak dan eksklusivitas. Kita dibuat merasa bahwa ini bukan sekadar tanah, melainkan sebuah tiket emas menuju masa depan finansial yang cerah.

Di era digital, kekuatan narasi ini semakin dahsyat. Algoritma media sosial seperti Instagram dan Facebook sangat pintar membaca keinginan kita. Sekali saja Anda mencari “tanah di Purwokerto,” bersiaplah “dihujani” oleh iklan-iklan properti yang menawan, lengkap dengan video sinematik dan testimoni pembeli yang tersenyum bahagia. Para influencer properti pun turut bermain, menyajikan ulasan yang seolah-olah objektif padahal merupakan bagian dari strategi pemasaran. Mereka menciptakan sebuah gelembung informasi (echo chamber), di mana kita hanya mendengar kabar baik dan potensi keuntungan, sementara risiko atau sisi negatifnya nyaris tak terdengar.

Akibatnya, banyak orang membeli bukan lagi karena kebutuhan riil, melainkan karena sindrom FOMO (Fear of Missing Out), yaitu ketakutan akut akan ketinggalan. Perasaan ini diperparah oleh keyakinan bahwa harga akan terus naik, yang ironisnya, justru menjadi kenyataan karena semua orang berbondong-bondong membeli. Fenomena ini layaknya ramalan yang terwujud karena kita sendiri yang membuatnya terjadi, sebuah bola salju yang terus membesar.

Kekuatan “Kata Orang” dan Lingkaran Pertemanan

Keputusan membeli properti yang nilainya ratusan juta hingga miliaran rupiah jarang sekali menjadi keputusan yang benar-benar rasional dan soliter. Faktor penentu yang sering kali lebih kuat dari brosur manapun adalah “kata orang”. Coba ingat-ingat, percakapan di warung kopi, di grup arisan, atau saat kumpul keluarga. Ketika seorang teman atau kerabat yang kita anggap “sukses” dengan bangga bercerita baru saja membeli sebidang tanah di lokasi X, muncul sebuah tekanan sosial yang tak terlihat. Kita jadi ikut berpikir, “Wah, dia saja berani, masa saya tidak?”

Hal ini merupakan manifestasi dari social proof (bukti sosial), sebuah prinsip psikologis di mana kita cenderung menganggap tindakan orang lain benar ketika kita tidak yakin harus berbuat apa. Logika kita sering kali disederhanakan menjadi, “Kalau banyak orang melakukannya, pasti ini keputusan yang bagus.” Dari sinilah bandwagon effect atau “efek ikut-ikutan” lahir. Satu orang membeli, lalu lima tetangganya ikut-ikutan. Lima orang itu bercerita di lingkarannya masing-masing, dan tanpa disadari, sebuah gelombang permintaan artifisial tercipta.

Para pengembang properti sangat memahami psikologi ini. Mereka sering menciptakan ilusi kelarisan dengan mengumumkan bahwa “50% unit sudah terpesan” pada minggu pertama peluncuran, padahal mungkin sebagian besar masih dalam bentuk Nomor Urut Pemesanan (NUP) yang belum tentu jadi transaksi. Citra “laris manis” ini memicu kepanikan calon pembeli lain untuk segera mengambil keputusan sebelum kehabisan. Proses inilah yang membuat permintaan meledak dan harga pun ikut terkerek naik, kadang jauh melampaui nilai wajarnya.

Menjual Mimpi, Bukan Sekadar Tanah

Lebih dalam lagi, yang dijual di Purwokerto bukan hanya sekadar meter persegi tanah. Yang dijual adalah sebuah mimpi tentang kualitas hidup. Purwokerto memiliki citra sebagai kota yang “pas”: tidak terlalu metropolis hingga membuat stres, namun juga tidak terlalu ndeso hingga ketinggalan zaman. Bayangan bisa membesarkan anak di lingkungan yang asri, udara yang lebih bersih, biaya hidup terjangkau, namun tetap memiliki akses ke pendidikan berkualitas dan fasilitas modern, adalah sebuah “paket mimpi” yang sangat menarik.

Narasi inilah yang dieksploitasi dalam pemasaran. Iklan perumahan tidak hanya menampilkan gambar rumah, tetapi juga gambar keluarga bahagia yang sedang bersepeda di taman, atau pasangan muda yang menikmati kopi di teras dengan pemandangan Gunung Slamet. Mereka menjual sebuah gaya hidup. Emosi inilah yang menjadi pendorong kuat. Ketika seseorang membeli properti dengan dorongan emosional yang kuat, faktor harga sering kali menjadi nomor dua. Mereka tidak sedang membeli aset, mereka sedang “membeli kebahagiaan”, dan untuk itu, mereka rela membayar lebih mahal.

Melihat fenomena kenaikan harga tanah di Purwokerto, menjadi jelas bahwa ini bukan sekadar permainan angka, penawaran, dan permintaan. Ada arus bawah psikologis dan sosial yang bekerja sangat kuat di baliknya. Cara media membingkai narasi, algoritma yang tanpa sadar mengurung kita dalam gelembung informasi, serta kekuatan bisikan dari mulut ke mulut secara bersama-sama telah berhasil menciptakan sebuah sentimen dan euforia kolektif yang sulit diabaikan.

Pada akhirnya, harga yang tertera di selembar brosur properti bukanlah lagi sekadar representasi nilai ekonomi tanah. Angka tersebut telah menjelma menjadi cerminan dari harapan, kecemasan, dan cara kita sebagai masyarakat saling memengaruhi satu sama lain. Nilai sebuah properti kini tidak hanya diukur dari lokasi atau luasnya, tetapi juga dari kekuatan cerita dan mimpi kolektif yang melekat padanya, sebuah bukti bagaimana sebuah keyakinan bersama bisa membentuk realita yang kita tinggali hari ini.

Ulfah Rosyidah

Pos Terbaru

GIRALOKA berupaya menjadi media yang terbuka bagi banyak suara, mudah dicerna tanpa kehilangan ketajaman analisis, serta relevan di tengah gempuran informasi digital yang serba cepat. Kami ingin menghadirkan bacaan yang ringan tapi bermakna, alternatif tetapi tetap dapat dipercaya, sehingga pembaca tidak hanya sekadar mengonsumsi informasi, melainkan juga diajak untuk memahami, meresapi, dan—pada akhirnya—ikut menyumbangkan suara.