Digagas oleh Sanggar Rojolele sejak 2017 sebagai perayaan tahunan budaya tani di Desa Delanggu, Klaten, Jawa Tengah, Festival Mbok Sri (FMS)–dahulu Festival Mbok Sri Mulih–adalah kendaraan besar Sanggar Rojolele untuk mengangkat isu-isu pertanian Desa Delanggu.
Tahun ini, untuk edisinya yang ke-8, FMS mengusung tema “Seni Bertahan Petani” sebagai sebuah pernyataan bahwa bertani hari ini bukan sekadar pilihan hidup, melainkan seni untuk bertahan di tengah ketidakpastian ekonomi, minimnya dukungan kebijakan, dan ketiadaan infrastruktur yang memadai. Di tengah derasnya arus industrialisasi dan urbanisasi, petani justru menjadi kelompok paling rentan yang kerap tak terwakilkan dalam agenda pembangunan nasional, bahkan dalam tuntutan massa dalam aksi akhir-akhir ini.
Festival Mbok Sri hadir sebagai ruang alternatif yang menolak untuk menyerah. Eksistensinya selama delapan tahun ini tidak semata-mata untuk menyuarakan isu, tapi juga sebuah metode penguatan budaya tani lewat kerja-kerja pemberdayaan masyarakat yang menekankan keguyuban dan gotong royong.
“Pada setiap edisinya, FMS secara konsisten menyediakan ruang bagi seluruh unsur masyarakat untuk terlibat dalam persiapan dan pelaksanaan festival, mulai dari perancangan program, instalasi dan dekorasi, pementasan hingga dapur umum. Kerja-kerja bersama ini merupakan upaya penguatan masyarakat akar rumput, sebuah manifestasi dari “Seni Bertahan Petani”,” jelas Eksan Hartanto, pendiri Sanggar Rojolele sekaligus Direktur FMS 2025.
Selain melestarikan ritual Wiwitan dan warisan pangan lokal lewat sajian-sajian Dapur Umum, FMS #8 juga berkolaborasi dengan banyak pihak untuk memperkaya kandungan festival tahun ini. Beberapa di antaranya adalah:
Residensi Srawung Sineas bersama Rumah Dokumenter Klaten yang menggaet sineas asal Malang, Barikly Farah, untuk merekam kegusaran para petani Delanggu dalam sebuah film dokumenter yang akan ditayangkan bersama beberapa film lainnya di program Layar Tancap Warga.
Panel diskusi Jagongan Tani tahun ini mengundang Nusanto Herlambang, pemulia dan penangkar benih Rojolele yang telah memulai aktivismenya sejak 2013. Nursanto akan dipertemukan dengan beberapa akademisi dan kelompok tani untuk “Membaca Masa Depan Padi Rojolele”.
Pangan lokal juga mendapatkan sorotan penting dalam edisi tahun ini lewat Workshop Olahan Pangan Lokal bersama Maria Stephanie dan tiga penyaji dari Pulau Timor (Yayasan Mentari Menerangi Indonesia/YMMI) yang akan memperkenalkan kekayaan masakan daerah mereka dengan bahan-bahan yang mudah didapat di Delanggu. Sementara Aroma Rasa akan mengeksplorasi khasanah pangan lokal lewat eksperimentasi menu-menu yang akan disajikan dalam Fun Dining Experience: “Sadono Set Rijsttafel”, terinspirasi tokoh Sadono (saudara lelaki Dewi Sri), penjaga hasil bumi yang mengajarkan pengolahan pangan sehingga lahir tradisi sego berkat, sebuah simbol kebersamaan dan rasa syukur.
Pameran foto “Muter Kaya Rodha” menampilkan kehidupan masyarakat Delanggu yang dinamis hasil jepretan 6 fotografer. Diinisiasi oleh Anung Pamadya, fotografer asal Delanggu, dengan Niken Pamikatsih sebagai pengarah pameran, pameran foto yang digelar di gang-gang kampung ini merupakan pameran foto pertama di Delanggu.
Edisi spesial FMS Sewindu di Delanggu juga ditandai dengan peluncuran Besalen Koripan, hasil kolaborasi Desa Kranggan, Sanggar Rojolele, dan Tim PPK Ormawa KSP “Principium” Fakultas Hukum UNS. Proyek ini merevitalisasi bangunan tua di Desa Kranggan menjadi sebuah living museum edukatif yang menampilkan karya-karya pandai besi Koripan beserta sejarahnya.
Koripan adalah sebuah kawasan pandai besi yang eksis sejak masa Kerajaan Mataram Islam hingga Kasunanan Surakarta. Sejarah Koripan sebagai sentra senjata prajurit sangat dekat dengan budaya pertanian Klaten, khususnya Delanggu, sebab seiring perkembangan kebutuhan masyarakat, karya-karya pandai besi Koripan bertransformasi menjadi perkakas pertanian.
“Rekonstruksi sejarah metalurgi Koripan ternyata menunjukkan bahwa eksistensi para pandai besi ini memiliki peran yang juga penting sebagai penunjang ekosistem pertanian Delanggu sehingga rasanya mustahil untuk tidak mengintegrasikan keduanya,” jelas Dr. Muhammad Rustamadji SH. MH, Dekan Fakultas Hukum UNS.
Penulis: Sanggar Rojolele


