Mereka selalu ada didekat kita, dari konser musik, minimarket, restoran hingga gerai mesin anjungan. Mengibaskan tangan seperti maestro orkestra, memberi arahan seolah-olah tanpa mereka, kendaraan kita akan tersesat ke dimensi lain. Padahal lahan itu milik publik, aspalnya dibangun dari pajak kita. Tapi entah bagaimana, mereka punya otoritas yang tak tertulis—menguasai ruang, menentukan siapa boleh berhenti, dan berapa “tarif resmi” yang nilainya selalu misterius. Di titik ini, tukang parkir bukan sekadar orang berseragam lusuh dengan peluit; mereka adalah validator sosial. Mereka menentukan apakah kendaraan kita akan “aman” atau “terancam”. Di blockchain sendiri, tugas ini dilakukan oleh para miner. Lihatlah betapa sejajarnya dua dunia yang katanya jauh berbeda.
Sekarang lompat ke Bitcoin. Dunia memandang Bitcoin sebagai masa depan finansial: terdesentralisasi, tanpa bank sentral, dan berbasis konsensus. Orang membeli Bitcoin karena percaya bahwa nilainya akan terus naik. Tapi bukankah sama seperti kita percaya pada tukang parkir yang berdiri dengan santai di bawah terik matahari? Tidak ada undang-undang yang benar-benar melindungi kita. Tidak ada garansi motor akan selamat dari lecet atau hilang. Tapi toh, kita tetap bayar. Itulah trust tanpa institusi. Blockchain versi lokal, yang lebih purba namun lebih nyata. Bahkan lebih tangguh: tukang parkir bisa bertahan puluhan tahun, sementara Bitcoin masih terombang-ambing isu regulasi.
Bedanya hanya di alat produksi. Tukang parkir mengandalkan peluit dan tatapan mata penuh intimidasi, sedangkan miner Bitcoin pakai GPU (Graphics Processing Unit) dengan daya listrik setara satu desa. Sama-sama bikin orang mengelus dada ketika bayar: kita kaget karena mendadak tarif parkir motor naik menjadi Rp2.000, dan mobil Rp5.000 diwaktu tertentu, mereka juga kaget karena harga Bitcoin naik-turun jutaan rupiah dalam hitungan menit. Namun esensinya sama: ekonomi ini berjalan di atas rasa takut. Takut motor lecet, takut ketinggalan cuan. Kedua-duanya digerakkan bukan oleh logika rasional, melainkan oleh perasaan rapuh manusia yang selalu butuh “jaminan” di tengah ketidakpastian.
Kalau dipikir lebih jauh, tukang parkir adalah representasi paling nyata dari ekonomi digital. Mereka bekerja tanpa legalitas resmi, tanpa algoritma rumit, tapi sistemnya tumbuh, berakar, dan nyaris mustahil diberantas. Sama persis dengan Bitcoin: dikecam pemerintah, dicibir ekonom, dianggap gelembung, tapi nilainya justru terus bikin geger dunia. Bedanya, tukang parkir sudah lebih dulu menemukan model bisnis “tanpa bank sentral” itu di tanah air. Tidak ada Bank Indonesia, tidak ada server, hanya trust berbasis tatapan mata dan peluit. Kalau itu bukan bentuk paling orisinal dari decentralized finance, lalu apa lagi?
Dan di situlah letak kejeniusan yang sering kita abaikan. Indonesia sebenarnya sudah menjadi laboratorium crypto-culture jauh sebelum istilah itu ditemukan di Silicon Valley. Bedanya, di sini blockchain tidak butuh coding, hanya butuh peluit dan keyakinan bersama. Jadi, sebelum sibuk menambang Bitcoin atau memimpikan Metaverse, barangkali kita perlu menoleh ke parkiran minimarket terdekat. Karena bisa jadi, pelajaran paling mendasar tentang ekonomi global justru dimulai dari kendaraan yang dijaga tukang parkir di kota kita.
Giraloka


