Nasi Rames: Makan adalah hak

Kalau di kota industri, warteg adalah “rumah kedua.” Dari pagi buta sampai larut malam, warteg selalu buka, selalu ramai, dan selalu siap menampung siapa pun yang lapar: buruh pabrik, sopir kontainer, mahasiswa perantau, sampai pengendara ojek online yang makan sambil mengisi daya handphonenya. Warteg adalah mesin ketahanan pangan paling kokoh di tengah kerasnya kota industri.

Tapi ada satu hal yang jarang diperhatikan: cara makan di warteg hampir selalu buru-buru. Orang datang, pesan nasi sepiring segunung, lauk ditumpuk asal jadi, lalu—hap hap hap—lima menit selesai. Gelas teh manis bahkan masih utuh, belum sempat disentuh, sudah waktunya bayar dan kembali bekerja.

Kenapa begitu? Karena ritme kota industri memang menuntutnya. Di sana, waktu adalah uang, dan makan hanyalah jeda sekilas yang sebisa mungkin dipersingkat. Makan di warteg bukanlah pengalaman, melainkan kewajiban. Lidah tak diberi hak berpendapat, perut cukup bilang: “Oke, isi tangki, lanjut kerja lagi.”

 

Tidak bisa disangkal, warteg adalah legenda kuliner perkotaan. Murah, cepat, praktis, dan—pentingnya—selalu ada. Seperti mesin bensin yang siap diisi kapan saja, warteg jadi jawaban kebutuhan perut di tengah kota industri yang berdenyut 24 jam.

Tapi, di balik semua itu, ada pola makan yang semakin mengakar: kita makan dengan mental pekerja pabrik. Semua serba tergesa-gesa. Menyuap nasi bukan untuk menikmati rasa, tapi sekadar mengisi energi. Tidak ada waktu untuk ngobrol panjang, tidak ada jeda untuk menyeruput teh hangat.

Lain cerita ketika kita menginjakkan kaki di Purwokerto, kota yang lebih dikenal sebagai pintu masuk menuju Gunung Slamet, kota mahasiswa, dan kota dengan ritme hidup yang lebih santai. Di sini, warteg jarang dijumpai. Bukan berarti orang tidak butuh makan murah—justru sebaliknya. Tapi yang marak adalah warung nasi rames.

Sekilas, nasi rames mirip dengan warteg: nasi putih ditemani aneka lauk pauk. Bedanya, ada “niat” yang lebih terasa. Lauknya mungkin sederhana— ada sayur urab dengan potongan daun kecombrang, sayur genjer, ayam suwir, sambal pedas manis—semua disajikan dengan perasaan. Tidak ada kesan asal tumis, asal goreng. Nasi rames seolah ingin berkata: “Hei, kamu boleh makan dengan harga merakyat, tapi lidahmu tetap layak dimanjakan.”

Di Purwokerto, orang makan nasi rames tidak perlu terburu-buru. Mereka bisa duduk, pesan teh panas dulu, lalu mulai menyendok nasi perlahan. Obrolan ringan dengan teman semeja bisa lebih panjang daripada waktu yang dibutuhkan untuk menghabiskan sepiring ramesan. Makan di sini adalah pengalaman, bukan sekadar kewajiban.

Nasi rames, dengan segala kesederhanaannya, memberi tamparan halus. Bahwa makanan murah itu seharusnya tetap enak. Bahwa kita, sebagai manusia, pantas mendapatkan cita rasa yang layak. Makan bukanlah perlombaan, apalagi hanya soal seberapa cepat perut bisa terisi penuh.

Di kota industri, warteg tumbuh karena prinsip dasar ekonomi. Di Purwokerto, nasi rames bertahan karena pilihan. Bedanya jelas: satu hidup dari keterpaksaan, satu lagi tumbuh dari kesadaran.

Nasi rames bukan standar seragam seperti produk pabrik. Ia adalah hasil tangan manusia, penuh kreasi, penuh kejutan. Kita tidak pernah tahu rasa apa yang menunggu di warung berikutnya. Dan bukankah hidup memang seperti itu? Tidak seragam, penuh kejutan, tapi tetap bisa dinikmati?

Di kota yang tidak hidup dari industri besar, orang punya waktu. Tidak ada cerobong asap yang memburu, tidak ada mesin pabrik yang menentukan ritme hidup. Maka dari itu, nasi rames bisa bertahan. Ia bukan sekadar isi perut, tapi pengingat bahwa makan adalah hak, bukan kewajiban.

 

Penulis: Giraloka

Pos Terbaru

GIRALOKA berupaya menjadi media yang terbuka bagi banyak suara, mudah dicerna tanpa kehilangan ketajaman analisis, serta relevan di tengah gempuran informasi digital yang serba cepat. Kami ingin menghadirkan bacaan yang ringan tapi bermakna, alternatif tetapi tetap dapat dipercaya, sehingga pembaca tidak hanya sekadar mengonsumsi informasi, melainkan juga diajak untuk memahami, meresapi, dan—pada akhirnya—ikut menyumbangkan suara.