Dari Sosial Media ke Sosial Algoritma: Ruang Sosial yang Berubah

Dikenalkan pertama kali pada tahun 1997 oleh Andrew Weinreich, Six Degrees merupakan pionir dari situs sosial media pertama di dunia. Meski hanya beroperasi beberapa tahun saja, Six Degrees dianggap sebagai situs media sosial yang memperkenalkan konsep dasar jejaring sosial. Konsep dasar ini awalnya menjanjikan hal yang sederhana: ruang untuk berhubungan dengan orang lain. Kita membuat akun, menambahkan teman, saling menyapa, lalu berbagi potongan hidup lewat status, foto, atau tautan. Ada rasa keterhubungan yang nyata meski jarak memisahkan. Media sosial kala itu masih sangat “sosial” dalam arti harfiah—kita masuk ke dalamnya untuk menjaga silaturahmi, membangun komunitas, atau sekadar tahu kabar kawan lama.

Namun, seiring waktu, wajah media sosial berubah. Kini kita tidak lagi hidup di era sosial media, melainkan di era sosial algoritma. Perbedaan utamanya cukup mencolok: jika dulu interaksi dibangun berdasarkan relasi pertemanan, sekarang interaksi lebih banyak diatur oleh algoritma. Kita tidak lagi perlu berteman untuk melihat atau membicarakan sesuatu; algoritma secara otomatis menyajikan konten sesuai dengan minat, kebiasaan, dan riwayat klik kita.

 

Dari Timeline ke For You Page

Fenomena ini paling jelas terlihat pada munculnya istilah seperti For You Page (FYP) di TikTok, atau rekomendasi video di YouTube. Alih-alih mengikuti alur linimasa teman-teman kita, sekarang yang muncul di layar adalah apa yang menurut sistem “pantas” kita lihat. Teman, keluarga, atau orang-orang terdekat justru tenggelam di balik arus konten yang tak ada habisnya.

Dulu, menambahkan teman berarti membuka pintu percakapan. Kini, interaksi bisa terjadi dengan siapa pun, bahkan dengan orang yang tidak pernah kita kenal. Hanya perlu satu kata kunci dikolom pencarian, algoritma akan menafsirkan itu sebagai sinyal ketertarikan, lalu membanjiri kita dengan konten serupa. Seolah-olah, platform lebih tahu apa yang kita mau dibanding kita sendiri.

Sekilas, personalisasi konten ini terlihat menguntungkan. Kita tidak perlu repot mencari topik yang disukai; semuanya sudah disiapkan. Suka memasak? Tiba-tiba linimasa dipenuhi resep singkat. Suka otomotif? Video modifikasi mobil bermunculan satu demi satu. Terlihat praktis, bukan?

Namun di balik kenyamanan itu, tersembunyi persoalan serius. Algoritma tidak punya pertimbangan etika atau nilai kebenaran; ia hanya bekerja berdasarkan pola klik, waktu tonton, dan interaksi. Artinya, informasi yang muncul belum tentu benar, sehat, atau berguna. Bahkan, konten yang bersifat sensasional, kontroversial, atau menimbulkan emosi ekstrem sering kali lebih diprioritaskan—karena algoritma tahu, semakin lama kita betah di layar, semakin besar keuntungan platform.

 

Hilangnya Ruang Sosial yang Otentik

Peralihan ini juga menggeser fungsi sosial media dari ruang membangun relasi menjadi ruang konsumsi konten. Kita tidak lagi datang untuk menyapa teman, melainkan untuk mengisi waktu luang dengan hiburan tanpa henti. Hubungan manusiawi perlahan tergantikan oleh interaksi dangkal: komentar singkat, like, atau share. Padahal, pada awalnya media sosial memberi harapan untuk memperkuat jaringan sosial kita.

Kini, hubungan antarmanusia menjadi sekadar data dalam mesin besar. Algoritma menempatkan kita dalam “gelembung informasi” (filter bubble), di mana kita lebih sering menemukan apa yang ingin kita dengar, bukan apa yang perlu kita ketahui. Alih-alih memperluas wawasan, algoritma justru mempersempit pandangan, karena dunia yang kita lihat hanyalah pantulan dari preferensi kita sendiri.

 

Dampak Sosial: Dari Distraksi hingga Polarisasi

Dampaknya terasa di berbagai level kehidupan. Secara pribadi, kita jadi lebih mudah terdistraksi, sulit fokus, dan rentan kecanduan. Berjam-jam bisa habis hanya dengan scrolling layar, tanpa disadari. Secara sosial, muncul polarisasi: orang-orang yang terjebak dalam gelembung informasi tertentu lebih mudah berkonflik dengan mereka yang terpapar konten berbeda. Diskusi publik menjadi keras, penuh prasangka, dan miskin pemahaman.

Tak jarang, informasi yang salah atau disinformasi justru lebih cepat menyebar daripada fakta. Mengapa? Karena algoritma lebih suka konten yang mengundang reaksi emosional ketimbang yang sekadar memberi data akurat. Maka, berita bohong, teori konspirasi, atau potongan informasi yang dimanipulasi bisa menyebar luas hanya karena ia memicu keterkejutan atau kemarahan.

Media sosial telah bergeser menjadi sosial algoritma, dan peralihan ini membawa konsekuensi besar pada cara kita berhubungan, berpikir, dan memahami dunia. Jika dulu media sosial memperkuat jembatan antarmanusia, kini ia lebih sering menjadi ruang komodifikasi atensi.

Tulisan ini bukanlah kecaman langsung terhadap Algoritma sebagai manifestasi kemunduran atau dekadensi teknologi, tetapi kita bisa memilih untuk tetap menjaga sisi “sosial” dari media sosial itu sendiri: menjadikannya ruang berbagi yang sehat, jujur, dan membangun, bukan sekadar lorong tanpa ujung yang menguras waktu dan perhatian.

 

Penulis: Giraloka

Pos Terbaru

GIRALOKA berupaya menjadi media yang terbuka bagi banyak suara, mudah dicerna tanpa kehilangan ketajaman analisis, serta relevan di tengah gempuran informasi digital yang serba cepat. Kami ingin menghadirkan bacaan yang ringan tapi bermakna, alternatif tetapi tetap dapat dipercaya, sehingga pembaca tidak hanya sekadar mengonsumsi informasi, melainkan juga diajak untuk memahami, meresapi, dan—pada akhirnya—ikut menyumbangkan suara.