Partai Politik: Akar dari Semua Kebuntuan Demokrasi Indonesia

Sebagai netizen yang sudah cukup terbiasa mengamati politik negeri ini dari timeline sosial media, saya makin yakin: akar dari sebagian besar masalah Indonesia bermula dari partai politik. Dari kasus korupsi kelas kakap yang tak pernah ada habisnya, undang-undang asal-asalan seperti Omnibus Law, hingga rekrutmen kader partai yang lebih sibuk mencari popularitas ketimbang kualitas—semuanya bisa ditelusuri ke satu sumber yang sama. Partai politik.

Memang, dalam demokrasi, partai dianggap sebagai elemen vital. Mereka disebut-sebut sebagai pilar utama, penghubung rakyat dengan negara, wahana kaderisasi kepemimpinan, dan ruang artikulasi gagasan politik. Begitu kata buku teks. Tetapi dalam praktiknya, partai di Indonesia lebih mirip perusahaan keluarga bercampur bisnis event organizer. Ada pemilik saham utama, ada sponsor besar, ada artis penghibur untuk menarik massa. Ideologi dan visi program? Itu nomor sekian, cukup dipajang saat kampanye saja.

Seperti yang pernah dikatakan Tyrion Lannister dalam serial Game of Thrones: “It’s hard to put a leash on a dog once you’ve put a crown on its head.” Begitulah wajah partai politik kita—begitu diberi mahkota kekuasaan, mereka tak lagi bisa dikendalikan oleh rakyat, apalagi oleh idealisme. Yang tersisa hanyalah ambisi menjaga singgasana, meski harus mengorbankan demokrasi itu sendiri.

Sejak era reformasi, partai politik tumbuh bak jamur di musim hujan. Tujuannya terdengar indah: memberi ruang bagi keragaman aspirasi. Tapi yang lahir justru mesin-mesin kekuasaan baru. Partai tidak mendidik kader, tidak menyiapkan pemimpin, tidak merumuskan arah pembangunan. Mereka lebih sibuk menghitung modal, membagi kursi, dan merawat dinasti.

Produk akhirnya bisa kita saksikan setiap hari. Kebijakan publik yang lahir dari DPR bukanlah hasil kajian panjang atau riset serius, melainkan hasil kompromi antara kepentingan sponsor dan elite partai. Omnibus Law adalah contoh paling telanjang: undang-undang disusun terburu-buru, minim partisipasi rakyat, tapi penuh kepentingan pemodal. Sebuah proyek legislasi yang dipasarkan sebagai solusi, tetapi sejatinya hanya katalog pesanan dari oligarki.

Tak perlu heran kalau KPK tidak pernah kehabisan bahan berita. Mayoritas kasus besar korupsi selalu ada jejak kader partai: dari anggota DPR, kepala daerah, sampai menteri. Polanya sama, nyaris membosankan. Biaya politik yang tinggi membuat kandidat harus setor besar ke partai. Begitu terpilih, modal itu harus dikembalikan—dan cara paling cepat adalah lewat korupsi.

Di titik ini, partai politik bukan lagi benteng demokrasi, melainkan lokomotif korupsi. Mereka tahu betul ongkos politik yang mereka patok mustahil ditebus dengan gaji resmi pejabat publik. Jadi ketika kader mereka tertangkap tangan, drama yang sama kembali dipentaskan: partai pura-pura kaget, pura-pura kecewa, lalu menyiapkan nama baru yang akan memainkan peran yang sama. Rakyat menonton, bertepuk tangan getir, dan tahu bahwa episode berikutnya tinggal menunggu waktu.

Politik Popularitas, Bukan Kapasitas

Lebih ironis lagi, partai kini semakin malas berburu kader dengan gagasan. Yang mereka buru adalah nama besar. Artis sinetron, penyanyi dangdut, selebgram—semuanya tiba-tiba bisa duduk di kursi legislatif, bahkan ikut kontestasi kepala daerah. Alasannya sederhana: mereka sudah punya panggung, sudah dikenal publik, sudah siap menjadi komoditas elektoral.

Apakah mereka paham seluk-beluk regulasi? Apakah mereka punya rekam jejak di bidang kebijakan publik? Itu urusan nanti. Yang penting mereka laku di spanduk, wajahnya dikenal pemilih, dan bisa mendulang suara cepat. Partai cukup menempelkan logo di balik nama mereka. Demokrasi pun direduksi menjadi ajang audisi populer: siapa paling sering nongol di televisi, dialah calon pemimpin kita berikutnya.

Tidak heran parlemen sering terlihat lebih seperti panggung hiburan ketimbang ruang deliberasi kebijakan. Sidang yang seharusnya menjadi arena debat gagasan, berubah menjadi ajang absen massal atau sekadar tontonan bagi mereka yang haus sensasi.

Di atas kertas, partai politik seharusnya menjadi jembatan rakyat menuju kekuasaan. Tapi di Indonesia, mereka lebih mirip tembok penghalang. Mereka membatasi siapa yang bisa maju, menyaring kandidat bukan berdasarkan integritas atau kompetensi, melainkan berdasarkan seberapa besar modal yang bisa disetor dan seberapa luas popularitas yang bisa dijual.

Inilah mengapa demokrasi kita terasa rapuh. Rakyat dipaksa memilih dari daftar nama yang disodorkan partai, meski daftar itu jelas-jelas berisi figur yang lebih pantas jadi bintang iklan ketimbang pembuat kebijakan. Demokrasi Indonesia akhirnya menjadi seperti warung dengan menu terbatas: rakyat boleh memilih, tetapi hanya di antara pilihan yang buruk.

Kerapuhan ini terlihat jelas di parlemen: lembaga yang seharusnya mewakili suara rakyat justru sibuk mengamankan kepentingan partai. Undang-undang lahir bukan dari diskusi publik, melainkan dari transaksi tertutup. Kepentingan rakyat nyaris selalu jadi catatan kaki, jika tidak hilang sama sekali.

Di tengah segala keruwetan itu, ada pula kisruh soal Undang-Undang Perampasan Aset, sebuah aturan yang sudah lama ditunggu publik untuk memperkuat pemberantasan korupsi. Rakyat berteriak, akademisi mendesak, aktivis antikorupsi menagih janji. Namun partai politik berlarut-larut, saling melempar alasan, dan menunda pengesahannya dengan berbagai dalih teknis. Padahal yang dipertaruhkan bukan sekadar regulasi, melainkan keberanian negara memutus rantai korupsi yang menggurita.

Sikap setengah hati partai dalam mengesahkan UU ini justru menyingkap wajah asli mereka: ketika berurusan dengan undang-undang yang menguntungkan oligarki, proses bisa berjalan kilat seperti Omnibus Law. Tetapi ketika menyentuh kepentingan publik yang bisa mengekang permainan elite, tiba-tiba semua jadi rumit, butuh waktu, dan penuh pertimbangan. Lagi-lagi, rakyat hanya diberi tontonan bagaimana partai politik menjadikan demokrasi sebagai panggung dagelan.

Bahaya paling besar dari pola ini adalah stagnasi. Jika partai politik tetap dikelola sebagai bisnis keluarga yang melahirkan politisi instan, maka masa depan Indonesia hanya akan dipenuhi wajah-wajah baru dengan pola lama. Korupsi tidak akan hilang, undang-undang pesanan akan terus lahir, dan parlemen akan semakin kehilangan wibawa.

Kita bisa mengutuk satu per satu pejabat yang ditangkap KPK, tetapi tidak ada gunanya. Selama partai politik tetap menjual tiket masuk kekuasaan dengan harga mahal, praktik itu akan berulang. Kita bisa menolak undang-undang bermasalah, tetapi jika partai yang melahirkannya tetap sama, hasilnya tidak akan berubah.

Pada akhirnya, semua jalan kritik bermuara pada satu hal: partai politik. Mereka adalah akar yang menumbuhkan batang-batang korupsi, dahan undang-undang pesanan, dan buah kader instan. Demokrasi Indonesia rapuh bukan karena rakyatnya tidak peduli, tetapi karena partai yang seharusnya menjadi penghubung justru memilih menjadi pedagang tiket kekuasaan.

Selama partai politik tidak berubah, demokrasi Indonesia hanya akan menjadi drama lima tahunan. Rakyat berbondong-bondong datang ke TPS, berharap ada perubahan, tetapi pulang dengan wajah lama dalam tubuh baru. Sementara itu, di belakang layar, partai terus menghitung laba, membagi kursi, dan menyiapkan panggung untuk aktor berikutnya.

Dan kita, sekali lagi, hanya akan menjadi penonton.

Pos Terbaru

GIRALOKA berupaya menjadi media yang terbuka bagi banyak suara, mudah dicerna tanpa kehilangan ketajaman analisis, serta relevan di tengah gempuran informasi digital yang serba cepat. Kami ingin menghadirkan bacaan yang ringan tapi bermakna, alternatif tetapi tetap dapat dipercaya, sehingga pembaca tidak hanya sekadar mengonsumsi informasi, melainkan juga diajak untuk memahami, meresapi, dan—pada akhirnya—ikut menyumbangkan suara.